Analisa : Pengguna Narkoba Tidak Harus Dipenjara

28 Oktober 2008

Pengguna narkoba tidak harus dipenjara, tapi dikirim ke pusat rehabilitasi, salah satu langkah yang dapat ditempuh
untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas (lapas) dan rumah tahanan (rutan) saat ini.

Mau Baca lengkap klick ini : http://www.aidsindonesia.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1140

Read More...

Di Malaysia, Penjara Bisa Jadi Profit Center

18 September 2008

Adi Lazuardi/Indonesia Media

Kuala Lumpur - Buah kunjungan Dubes RI untuk Malaysia Da'i Bachtiar, beserta pejabat di jajarannya, berikut rombongan Dharma Wanita, ke penjara khusus wanita di Kajang, Selangor, Malaysia, Senin (28/7) lalu, muncul kesedihan sekaligus kekaguman.

Sedih karena di tempat itu terdapat 1.100 wanita Indonesia dari 1.504 wanita yang ditahan, baik karena perbuatan kriminal atau melanggar keimigrasian. Paling banyak memang tahanan imigrasi karena tinggal atau bekerja tanpa dilengkapi dokumen resmi keimigrasian.

Di antara kesedihan itu, kekaguman juga muncul ketika melihat potret penjara di Malaysia yang boleh dikatakan tidak seperti tempat hukuman (penjara), tetapi tepat disebut sebagai lembaga pemasyarakatan.

"Ini Ironis. Di Indonesia namanya bukan penjara tapi lembaga pemasyarakatan, namun realitasnya adalah benar-benar penjara," kata Da'i kepada kepala penjara Kajang, Nassif, setelah melihat langsung sarana dan kegiatan penjara itu.

Di Malaysia namanya tetap penjara tapi realitasnya benar-benar lembaga pemasyarakatan. Karena di dalam penjara banyak bengkel kreativitas dan para tahanan diberikan begitu banyak peluang kegiatan usaha yang mampu membuat dia mandiri dan berusaha untuk mempertahankan hidup.

Begitu masuk kawasan penjara wanita Kajang, pengunjung akan melihat masjid besar putih dan cantik. Kemudian di halaman parkir akan dijemput gerai atau toko penjualan kerajinan tangan para tahanan.

Penjara di Sungai Buloh, Selangor, juga tidak tampak seperti penjara. Di kanan kiri pintu masuk berdiri apartemen pegawai penjara yang bersih dan nyaman. Setelah masuk, baru terlihat ada penjara di dalamnya.

Begitu pula dengan penjara untuk ISA (internal security act) di Kemunting, Perak. Penjara yang paling ditakuti di Malaysia. Dari luar tidak seperti penjara karena begitu masuk, di kanan kiri jalan tampak pemandangan perkebunan, kemudian fasilitas sekolah dan bermain anak-anak pegawai penjara. Setelah masuk satu kilometer barulah tampak bangunan penjaranya.

Profit Center

Dari kunjungan itu muncul kekaguman karena pemerintah Malaysia selain memiliki desain penjara yang bagus, pengelolaan yang manusiawi, mereka juga mampu menjadikan penjara, istilah kasarnya penampungan sampah masyarakat, menjadi tempat yang menghasilkan (profit center).

Malaysia menargetkan pendapatan sekitar Rp30 miliar atau sekitar 10 juta ringgit pada tahun 2008 dari penjualan produk para tahanan di seluruh penjara.

"Pada semester pertama tahun ini, kami sudah mendapatkan 4 juta ringgit (sekitar Rp12 miliar)," kata pejabat departemen penjara Malaysia Abd Razak ketika menerima kunjungan rombongan KBRI Kuala Lumpur.

Tahun lalu, ungkap Abd Razak, seluruh penjara Malaysia mendapat 6 juta ringgit (sekitar Rp18 miliar) dari penjualan produk para tahanan.

"Seperti di penjara khusus wanita Kajang ini di depan pintu masuk penjara ada gerai penjualan produk tahanan mulai dari kerajinan tangan, baju batik, kue dan rote, salon," katanya.

Bahkan, disediakan juga gerai di internet. "Masyarakat bisa membeli via internet melalui ketik www.prison.com.my dibayar dengan kartu kredit dan bisa diantar ke rumah," kata Abd Razak.

Dalam penjara khusus wanita Kajang ada tujuh bengkel yang disediakan bagi pelatihan kejuruan bagi tahanan yakni bengkel salon, SPA, batik, kerajinan tangan, pembuatan kue dan komputer. Hasil karya mereka juga bagus-bagus dan layak jual dengan harga miring karena dikerjakan oleh para tahanan.

"Beberapa mal besar juga selalu memberikan informasi dan mengajak gerai penjara jika mereka ada pameran," kata pejabat departemen penjara Malaysia itu.

Menurut dia, ada tahanan yang keluar dengan penghasilan ribuan ringgit hasil kerajinan tangannya selama di dalam penjara. “Kami catat setiap produk tahanan dan kami berikan ketika dia keluar dari penjara sebagai pendapatan dan bekal hidup nanti," katanya.

Dubes Da'i dan rombongannya sempat mencicipi aneka macam kue buatan para tahanan. Para petugas penjara tidak lupa memberikan brosur yang isinya penawaran katering dari penjara Kajang yang bisa dipesan untuk berbagai macam pesta.

"Kalau di penjara laki-laki ada keterampilan tukang kayu dan elektronik," tambah Abd Razak.

Sebelum pulang, rombongan ibu-ibu Dharma Wanita KBRI KL memborong produk kerajinan tahanan wanita Kajang. Walau pun tidak ada cap atau tulisan "made by" (dibuat oleh) TKW atau TKI, tapi mayoritas pekerjanya memang TKW atau TKI.

Tidak heran, manajemen pengelolaan penjara di Kajang mendapatkan ISO 9001.

http://www.indonesiamedia.com/2008/8/mid/manca/Di.html


Read More...

ROY MARTEN DAN SISTEM PEMASYARAKATAN

17 September 2008

Secara mengejutkan, Roy Marten, artis senior dalam dunia perfilman Indonesia kembali ditahan oleh polisi dalam kasus yang sama dengan kasus yang membawa dirinya dipenjara di Cipinang selama beberapa bulan. Ironisnya, ini terjadi selang beberapa hari setelah ia hadir dan memberikan tertimoni tentang bahaya narkoba dalam acara yang diselenggarakan oleh Badan Narkotika Nasional. Selain dari keharusan kita menghormati azas praduga tidak bersalah, apa yang tengah dialami oleh Roy memberikan sejumlah catatan kritis.

Pertama, terlepas dari perlunya pemeriksaan lebih jauh, kasus yang menimpa Roy bukanlah satu-satunya. Hanya karena Roy adalah public figure, apa yang dialaminya dirasa perlu untuk diketahui oleh publik. Pengulangan (residivisme) kejahatan penggunaan narkotika dan psikotropika bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dark number untuk pengulangan kasus ini justru sangat besar. Hal ini terkait dengan kriminalisasi terhadap penggunaan narkotika dan psikotropika sehingga tidak akan mudah untuk menemukan begitu saja para penggunanya. Terlebih lagi para pengulang.

Namun demikian, catatan kritis kedua yang dapat diberikan justru terkait dengan ujung dari sistem peradilan pidana di Indonesia ini. Tepatnya peran sistem pemasyarakatan, sebagai sistem yang ditugasi untuk membawa kembali orang-orang yang “tersesat” kembali ke jalan yang benar. Sebagaimana secara eksplisit ditegaskan oleh prinsip-prinsip pemasyarakatan. Apa yang sekarang menimpa Roy Marten, dalam konteks catatan kritis kedua ini, bisa dikatakan tidak murni kesalahan dirinya sendiri. Ada persoalan struktural yang lebih luas yang membuat dirinya tidak mampu keluar dari “lingkarang setan” narkoba.

Dalam sejarah kajian penologi (ilmu tentang penghukuman), dikenal sedikitnya 5 (lima) filosofi penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Sejumlah literatur hanya membuat tiga kategori. Dalam perkembangan awalnya, manusia berfikir bahwa penghukuman hakekatnya adalah membuat penderitaan bagi pelaku kejahatan yang setara dengan penderitaan yang dialami korban. Hukuman sekaligus bentuk balas dendam korban. Jika membunuh, hukumannya dibunuh. Filosofi ini dikenal dengan retributive. Filosofi ini kemudian dikritik oleh kaum rasionalis, yang mengatakan penghukuman seharusnya tidak hanya bertujuan untuk membuat penderitaan yang sama, namun harus memberikan manfaat bagi pengendalian sosial. Oleh karenanya, muncullah filosofi deterrence (penjeraan). Hukuman juga harus mampu membuat jera pelaku kejahatan, serta membuat takut anggota masyarakat yang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama dengan si terhukum. Namun demikian, kedua filosofi ini dianggap tidak manusiawi karena mengedepankan bentuk-bentuk penghukuman yang bersifat badaniah (corporal punishment).

Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, psikologi, dan sosiologi, dua mashab abad pertengahan tersebut dikritik. Kedokteran dan psikologi beranggapan dalam kasus-kasus tertentu kejahatan yang dilakukan disebabkan oleh sejumlah faktor medis dan psikis. Seperti karena gangguan dengan sistem syaraf atau hormonal seseorang cenderung menjadi agresif. Oleh karenanya, penghukuman seharusnya tidak bertujuan untuk menghukum, namun memulihkan faktor-faktor medis dan psikis yang mendorong munculnya kejahatan tersebut. Filosofi ini kemudian dikenal dengan rehabilitative.

Sosiologi juga memberikan kritik yang sama terhadap filosofi penghukuman yang mengedepankan aspek balas dendam dan penderitaan. Sosiologi memandang, kejahatan muncul tidak hanya karena persoalan motivasi individu, namun ada peran dari faktor sosial. Dalam hal ini adalah asosiasi. Seseorang menjadi jahat karena ia berasosiasi dengan kelompok yang juga jahat. Dengan kata lain, kejahatan hanyalah masalah kemana seseorang berasosiasi. Penghukuman dengan demikian harus ditujukan untuk mengajak kembali para pelaku kejahatan untuk konformis dengan nilai dan norma masyarakat. Filosofi ini dikenal dengan resosialisasi.

Sosiologi juga mendorong munculnya satu filosofi lain yang kemudian digunakan dalam penghukuman legal di Indonesia, yaitu reintegrative. Filosofi ini di Indonesia dikembangkan dalam bentuk sistem pemasyarakatan. Bahwa kejahatan pada hakekatnya adalah konflik yang terjadi antara pelaku kejahatan dengan masyarakatnya. Sehingga penghukuman ditujukan untuk resosialisasi sekaligus berupaya mengintegrasikan kembali (reintegrasi) terhukum dengan masyarakatnya.

Kasus yang menimpa Roy Marten menarik untuk didiskusikan dalam konteks perkembangan filosofi penghukuman ini. Tertangkapnya kembali Roy Marten, sebagai pengguna narkoba, memberikan kita pertanyaan besar tentang efektivitas pelaksanaan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan. Diasumsikan sebelum mendapatkan hak menghirup kembali udara segar di luar lembaga, seorang terhukum telah menjalani proses pembinaan. Namun mengapa ada yang mengulangi kejahatannya kembali?

Secara kriminologis, penggunaan narkoba adalah kejahatan yang pelaku sekaligus menjadi korban. Sehingga dalam batas-batas tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang tidak terlalu serius. Berbeda halnya dengan pengguna sekaligus pelaku pengedar yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun masyarakat secara umum. Selain itu, terkait pula dengan karakteristik dari kejahatan ini yang memiliki dampak jangka panjang, khususnya ketergantungan dan toksifikatif, diperlukan suatu model penghukuman yang jauh berbeda dari model yang diterapkan kepada narapidana umumnya.

Filosofi rehabilitasi cenderung lebih tepat sebagai model penghukuman terhadap para pengguna narkoba. Jika dilihat dari karakteristik kejahatan ini, model rehabilitasi jelas memberikan pola penanganan yang lebih jelas dan terukur. Oleh karenanya, kebijakan menjebloskan para pengguna narkotika yang jelas tidak sekaligus menjadi pengedar ke dalam penjara dinilai tidak tepat. Kekhawatiran besar terhadap kebijakan tersebut adalah tidak mampunya lembaga pemasyarakatan yang lebih menekankan filosofi reintegrasi untuk menjalankan fungsi-fungsi rehabilitatif. Terutama dalam melakukan detoksifikasi dan menghilangkan ketergantungan. Jikapun lembaga pemasyarakatan bersikeras mampu melaksanakan fungsi-fungsi rehabilitatif, polemik atas peran sistem pemasyarakatan di Indonesia sekarang ini cenderung membuat kita menjadi semakin skeptis.

Selain dilihat dari ketidakmampuan untuk menjalankan fungsi rehabilitatif, menjebloskan para murni pengguna narkoba ke dalam lembaga pemasyarakatan akan sangat berpotensi menjadikan mereka pelaku kejahatan yang lebih serius (efek prisonisasi). Terlebih lagi di dalam sistem penjara yang belum mampu memberlakukan kategorisasi narapidana secara ketat. Di dalamnya, interaksi sekaligus proses pembelajaran antaar pengguna dengan pengguna, terlebih lagi pengguna dengan pengedar sangat mungkin terjadi.

Pemerintah seharusnya dapat lebih sensitif terhadap persoalan ini. Rumit dan kompleksnya permasalahan sistem pemasyarakatan Indonesia dewasa ini sangat mungkin menambah jumlah residivisme para penggunan narkoba. Pemerintah pada dasarnya memiliki banyak pilihan alternatif penghukuman bagi para penggunan narkoba. Bahkan di antara alternatif tersebut telah dipraktekkan sejak lama dalam format Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang telah berperan aktif dalam memberikan konseling kepada murni pengguna.

Namun dalam kenyataannya pemerintah terlihat lebih senang menjebloskan sebanyak mungkin pelaku kejahatan ke dalam penjara. Filosofi penghukuman rehabilitatif memang masih mendukung institusionalisasi penghukuman. Hukuman harus dilaksanakan dalam satu lembaga khusus. Namun tidak berarti institusi yang dimaksud adalah penjara. Pemerintah seharusnya dapat mengintensifkan alternatif-alternatif penghukuman yang menjamin berjalannya fungsi rehabilitatif bagi murni pengguna narkoba. Sehingga masalah yang tengah dialami Roy Marten tidak diikuti oleh mantan-mantan pengguna lainnya yang justru berpotensi menambah dark number.

http://kriminologi1.wordpress.com/2007/11/16/roy-marten-dan-sistem-pemasyarakatan/


Read More...

Penyalah Guna Narkoba, Korban atau Penjahat

14 September 2008

Media Indonesia, Selasa, 13 Mei 2008
Penulis : Drs Togar M Sianipar, KomJen Polisi (Purn)


Pada Juni dan Desember 2007 lalu, BNN menyelenggarakan sarasehan di Jakarta dan Yogyakarta, mengangkat isu bertema sama dengan judul tulisan ini. Ketika mengangkat isu tersebut, BNN tentu mempunyai sederet alasan dan pertimbangan. Terutama disebabkan oleh begitu banyaknya keluhan para orang tua yang menganggap bahwa pemidanaan dan pemenjaraan penyalah guna narkoba (terutama anak dan remaja), tidak akan menyelesaikan masalah, apalagi menyembuhkan. Malahan dikhawatirkan korban/anak justru semakin parah, ditambah lagi dengan kondisi LP (lembaga pemasyarakatan) yang tidak mendukung.

Tuntutan para orang tua seperti ini, sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara. Para orang tua meyakini bahwa upaya terapi dan rehabilitasi merupakan langkah yang jauh lebih tepat. Meski demikian, tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa terhadap mereka yang terlibat kasus narkoba (pemakai, pengedar, dan produsen), cara yang paling tepat adalah hukuman. Di Indonesia, hal ini diatur dalam UU No 22/1997 tentang Narkotika, dan UU No 5/ 1997 tentang Psikotropika.

Tulisan ini, akan menguraikan beberapa hal yang perlu kita simak bersama, bagaimana sebaiknya agar kedua kepentingan tersebut dapat diakomodasi secara bijaksana.

Fakta mengenai permasalahan narkoba di dunia saat ini adalah bahwa masyarakat internasional telah berhasil menahan laju permasalahan, walaupun memang belum berhasil menurunkannya. Penyalahgunaan narkoba di seluruh dunia sampai sekarang ini dapat ditahan pada tingkat 5% dari jumlah seluruh penduduk dunia dewasa, atau sekitar 1/5 dan 1/6-nya dari ketergantungan pada rokok dan alkohol. Tidak lebih dari 25 juta atau 0,5% dari penduduk dunia merupakan pecandu narkoba bermasalah, lebih sedikit daripada jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS (artinya orang dengan ODHA lebih banyak daripada pencandu narkoba). Kematian akibat narkoba juga hanya sekitar 200.000 orang per tahun (15.000 orang di Indonesia), sekitar 1/10 dari jumlah mereka yang mati akibat alkohol, dan 1/20 dari jumlah orang yang mati karena tembakau.

UNODC, United Nations Office on Drugs and Crime, memberikan gambaran kondisi di dunia saat ini, sangat banyak kejahatan dan kasus pencucian uang. Sangat banyak orang dipenjara. Sangat sedikit orang mengikuti pelayanan kesehatan, sangat sedikit sumber-sumber untuk pencegahan, terapi, dan rehabilitasi. Sangat banyak perhatian dan sumber-sumber dikerahkan untuk upaya pemberantasan tumbuhan narkoba, tetapi sangat sedikit upaya untuk menanggulangi kemiskinan yang merupakan akar dari semua permasalahan (UNODC 2008).

Di seluruh dunia, laju pertumbuhan permasalahan narkoba baik penyalahgunaan maupun pengedaran gelap dapat ditahan, tetapi di Indonesia justru menunjukkan gejala terus meningkat tajam. Fakta tersebut jelas menunjukkan betapa ketinggalan dan tidak berhasilnya upaya penanggulangan bahaya narkoba di Indonesia jika dibandingkan dengan upaya yang sama di seluruh dunia pada umumnya, dan di negara- negara tetangga khususnya.

Hasil Survei Nasional Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Seluruh Indonesia, tahun 2006, yang diselenggarakan oleh BNN (BNN, 2007) menyimpulkan bahwa 8% dari pelajar SLTP, SLTA, dan mahasiswa perguruan tinggi/akademi yang dijadikan responden penelitian (73.842 siswa dan mahasiswa dari SLTP, SLTA, akademi/ perguruan tinggi dari 33 provinsi di seluruh Indonesia), mengaku pernah menyalahgunakan narkoba, atau tingkat prevalensi penyalahgunaan untuk kategori pernah dan 5% untuk kategori pernah memakai dalam satu tahun terakhir. Bila dibandingkan dengan hasil Survei Nasional Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di seluruh Indonesia tahun 2003, prevalensi penyalahgunaan narkoba adalah sebesar 3,9%, terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun (2003-2007).

Hasil survei nasional 2006 lebih jauh menunjukkan sekitar 40% penyalah guna adalah siswa SLTA dan lebih dari separuh mahasiswa akademi/PT mengaku pernah memakai ganja dalam setahun terakhir. Sekitar 10% sampai 15% penyalah guna narkoba di semua jenjang pendidikan mengaku memakai ekstasi dan sabu. Pemakai sabu meningkat sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Sekitar 7% penyalah guna di semua jenjang pendidikan menggunakan heroin dan atau morfin. Sekitar 4%- 5% mengaku menggunakan kokain, LSD, ketamin, dan yaba. Empat dari 10 pelajar dan mahasiswa penyalah guna mulai menggunakan narkoba pada usia satu tahun lebih muda.

Ganja merupakan jenis narkoba yang paling banyak digunakan pertama kali. Satu persen sampai 4% pelajar dan mahasiswa mengaku pernah menggunakan narkoba dengan jarum suntik. Angka ini hampir merata di seluruh Indonesia dan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Hanya 8% dari penyalah guna narkoba yang mengaku pernah mengikuti terapi dan rehabilitasi. Sebanyak 80% dari semua pelajar dan mahasiswa yang dijadikan responden penelitian mengaku pernah terpapar (exposed) promosi pencegahan narkoba dan 75% di antaranya mengaku memahami pesan promosi pencegahan tersebut (BNN, 2007).

Sementara itu, angka-angka tentang tahanan dan narapidana menunjukkan bahwa proporsi tahanan dan narapidana narkoba meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, 28,71% dari 112.744 tahanan dan narapidana di seluruh Indonesia adalah tahanan dan narapidana narkoba, jauh melampaui proporsi tahanan dan narapidana pelaku tindak kejahatan lainnya (pencurian 12,34%, pembunuhan 7,2%, perjudian 3,82%, dan penganiayaan 3,61%, pelanggaran ketertiban 2,66% lain-lain 41,67%).

Angka-angka ini menunjukkan, proporsi tahanan dan narapidana narkoba bukan saja paling tinggi, jauh melampaui bahkan beberapa kali lipat dari proporsi tahanan dan narapidana tindak kejahatan lainnya yang proporsinya tinggi (pencurian, pembunuhan, perjudian, penganiayaan, dan pelanggaran ketertiban), tetapi juga paling tinggi peningkatan per tahunnya. Proporsi tahanan dan narapidana narkoba tahun 2005 sebesar 24%, tahun 2006 meningkat menjadi 28,71%, atau sebesar hampir 5% dalam satu tahun (BNN, 2007). Kalau gelagat itu berlangsung terus seperti itu, rumah tahanan dan penjara yang ada akan penuh dengan tahanan dan narapidana narkoba.

Fakta lainnya yang sangat memprihatinkan adalah maraknya pengedaran gelap narkoba di dalam rumah tahanan dan LP, sehingga LP seolah-olah telah berfungsi sebagai lembaga tempat memasyarakatkan (socializing) pengedaran dan penyalahgunaan narkoba. Lebih memprihatinkan lagi, adanya penghuni LP yang telah divonis hukuman mati, namun dapat dengan leluasa mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara, sebagaimana telah diutarakan dalam tulisan sebelumnya.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan kepada kita semua bahwa:

Pelaku dan korban penyalahgunaan narkoba adalah remaja dan pemuda (pelajar SLTP, SLTA, dan mahasiswa perguruan tinggi), yang merupakan aset dan penentu masa depan bangsa dan negara. Karena itu terhadap mereka (sesuai dengan hak asasinya) seharusnya dilakukan perlindungan dan penyelamatan, bukan malahan memenjarakan para remaja dan pemuda ini.

Proporsi tahanan dan narapidana narkoba bukan saja tinggi, tetapi juga meningkat tajam, sehingga semua rumah tahanan dan penjara yang ada akan penuh dengan tahanan dan narapidana narkoba. Dengan demikian, semua fasilitas rumah tahanan dan penjara yang ada, yang sudah overcapacity akan makin sesak, dan pasti akan menambah beban APBN.

Pemenjaraan penyalah guna narkoba, apalagi bila dibaurkan dengan napi lainnya, tentu akan menularkan penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba kepada napi lainnya, sehingga menjadikan LP sebagai tempat yang nyaman untuk perdagangan gelap narkoba.
Dekriminalisasi penyalah guna narkoba

Di dunia internasional muncul wacana dan debat mengenai judul tulisan ini. UNODC sehubungan dengan HAM, menganjurkan agar negara-negara anggota mempertimbangkan dekriminalisasi penyalah guna narkoba. Artinya penyalah guna narkoba harus dipandang dan diperlakukan sebagai korban, dan bukan sebagai pelaku tindak kriminal.

Pasal 88, ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menegaskan, "Pecandu narkotika dewasa yang dengan sengaja tidak melaporkan dirinya seperti dimaksud pada Pasal 46, ayat (4) diancam hukuman penjara paling lama enam bulan dan denda paling besar Rp2 juta. (2) Keluarga/ kerabat pecandu narkoba yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu tersebut diancam hukuman paling lama tiga bulan dan denda paling besar Rp1.000.000 (satu juta rupiah)."

Salah satu kriteria bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal adalah, apabila dilakukan dengan sengaja dan menyebabkan orang lain menderita kerugian, luka, atau mati. Kalau korbannya hanya orang lain seperti yang diperhatikan oleh kriteria ini, pertanyaannya adalah bagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan yang korbannya adalah diri sendiri seperti melukai diri, membakar diri, berusaha bunuh diri, dan menyalahgunakan narkoba. Dengan kriteria tersebut, penyalah guna narkoba sering disebut sebagai victimless crime, karena tidak menimbulkan korban orang lain.

Dekriminalisasi di lapangan

Di lapangan, tidak mudah untuk menerapkan ketentuan pasal tersebut, terutama mengenai pengertian 'yang dengan sengaja tidak melaporkan diri'. Sangatlah sulit membedakan antara 'dengan sengaja' dengan 'tidak dengan sengaja' tidak melaporkannya. Selain itu juga, sangat sulit membedakan antara penyalah guna atau pecandu narkoba yang murni pecandu dan yang merangkap sebagai pengedar gelap narkoba.

Karena, biasanya, setelah seseorang mulai mencoba dan kemudian menjadi ketagihan, maka untuk memenuhi kebutuhannya akan narkoba ia melakukan pengedaran gelap narkoba. Karena itu, yang semula ia hanya sebagai pengguna, kemudian merangkap sebagai pengedar gelap.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum di lapangan (khususnya Polri) akan menangkap setiap penyalah guna sebagai pelaku tindak kejahatan narkoba, karena sulit membedakan mana penyalah guna yang benar-benar hanya sebagai penyalah guna, dan mana penyalah guna yang merangkap sebagai pengedar, serta mana pula yang hanya sebagai pengedar.

Ketika ditangkap, yang bersangkutan dapat saja mengaku hanya sebagai penyalah guna, padahal sebenarnya ia merangkap sebagai pengedar atau malahan hanya pengedar. Dalam situasi demikian, aparat tentu akan bersikap tidak mau terkecoh. Apalagi ketika digeledah, ternyata yang bersangkutan memiliki, menyimpan, atau menguasai narkoba, maka yang bersangkutan akan ditangkap dan diproses hukum karena kepemilikan, penguasaan, dan penyimpanan narkoba.

Mereka yang hanya sebagai penyalah guna pun terdiri atas dua kategori, yaitu mereka yang menjadi penyalah guna atau ketergantungan narkoba secara sadar dan dengan sengaja karena didorong oleh keingintahuan dan keinginan untuk mencoba, ingin diterima oleh kelompok atau ingin menyesuaikan diri dengan gaya hidup kelompoknya, dan mereka yang benar-benar menjadi korban, yang menggunakan narkoba bukan atas kesadaran dan keinginannya.

Mengapa dekriminalisasi

Dekriminalisasi penyalahgunaan narkoba dimaksudkan untuk mengurangi tekanan permasalahan:

Kriminalisasi penyalah guna narkoba, ternyata tidak menimbulkan baik deterrent effect maupun dampak jera pelaku. Dari perspektif penanggulangan permasalahan narkoba secara keseluruhan, penahanan dan pemenjaraan tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah permasalahan baru.

Pelaku penyalahgunaan dan penderita ketergantungan narkoba sebagian besar adalah remaja dan pemuda yang merupakan aset dan penentu masa depan bangsa dan negara, yang berdasarkan HAM mereka berhak untuk dilindungi.

Berdasarkan asumsi bahwa penyalah guna dan penderita ketergantungan narkoba pada hakikatnya adalah orang sakit, maka perlu diobati, bukan dihukum. Maka juga demi HAM, khususnya hak akan pelayanan kesehatan, pengobatan dan perawatan penyalah guna narkoba lebih arif daripada memenjarakannya.

Mendorong agar penyalah guna atau pecandu narkoba tidak segan berobat ke rumah sakit ketergantungan obat (RSKO), ke pusat terapi dan rehabilitasi narkoba, atau ke bagian kesehatan jiwa rumah sakit umum, tanpa rasa takut ditangkap oleh aparat penegak hukum, sehingga proporsi penyalah guna dan pecandu narkoba yang berobat meningkat, dan fasilitas pelayanan terapi dan rehabilitasi yang tersedia akan bermanfaat.

Kenyataan menunjukkan, proporsi penyalah guna dan pecandu meningkat tajam, sementara proporsi yang mengikuti terapi dan rehabilitasi sangat kecil, seperti dikemukakan di atas, hanya sekitar 5% (menurut pengakuan pelaku). Banyak fasilitas terapi rehabilitasi swasta maupun pemerintah yang kekurangan pasien, bahkan ada beberapa di antaranya yang terpaksa harus tutup, karena tidak ada calonresident yang mendaftar.

Di lingkungan masyarakat Indonesia, sampai saat ini menyalahgunakan atau menderita kecanduan narkoba tergolong aib keluarga, sehingga bukan saja ada perasaan takut ditangkap dan dipenjara, tetapi juga karena merasa sebagai aib, orang tua atau keluarganya cenderung menyembunyikannya.

Mereka yang berasal dari keluarga mampu, secara diam-diam dapat mengirimkan ke fasilitas terapi dan rehabilitasi di luar negeri, atau fasilitas perawatan tradisional, atau perawatan spiritual, yang jumlahnya cukup banyak, walaupun efektivitasnya belum tentu terjamin. Sebagian masyarakat karena mengetahui bahwa penyalahgunaan atau kecanduan narkoba merupakan perbuatan kriminal, mereka lebih bersikap tidak melaporkan kepada yang berwajib, tetapi malah menyembunyikannya.

Dekriminalisasi mungkin, tetapi perlu pertimbangan dan penyelusuran saksama
Apakah penyalah guna dan pecandu narkoba itu kriminal atau korban, tentu sangat tergantung pada latar belakang dan keadaan sebenarnya.

Apabila seseorang menjadi penyalah guna atau penderita ketergantungan narkoba itu,
Benar-benar karena ajakan, iming-iming, bujukan, desakan, paksaan pacar, teman sebaya, pusher, atau lainnya, di luar kesadaran dan kemauan pelaku, dan selanjutnya yang bersangkutan terus ajek hanya sebagai penyalah guna, maka yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai korban.

Benar-benar karena tipuan orang melalui pemberian permen atau minuman yang dicampur dengan narkoba di luar sepengetahuan dan kesadarannya, sehingga yang bersangkutan menjadi pengguna atau pecandu, maka juga dapat dikatakan sebagai korban.
Benar-benar akibat proses pengobatan penyakit yang dideritanya, kemudian yang bersangkutan menjadi ketagihan akan narkoba, maka juga dapat dikatakan sebagai korban.

Tetapi apabila pengguna atau pecandu narkoba melakukan atas kesadaran, kemauan, dan dorongan, keputusan dan pilihannya sendiri, walaupun yang bersangkutan hanya sebagai pengguna, adalah sulit untuk dikatakan sebagai korban. Demikian pula apabila pengguna atau pecandu merangkap sebagai pengedar, apa pun latar belakangnya, dan apa pun alasannya, tentu tidak dapat dikatakan sebagai korban.

Mengingat dan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, pemberian label 'korban' tidak bisa dikenakan secara otomatis, serta-merta, dan berlaku universal bagi semua penyalah guna atau pecandu, tetapi perlu dilakukan seleksi, jangan sampai penyalahgunaan narkoba digunakan sebagai alibi atau penyembunyian tindak kejahatan narkoba oleh mereka yang benar-benar penjahat narkoba.

Seseorang dapat dikatakan sebagai korban dan minta diperlakukan sebagai korban, tentu harus melalui proses, penyelusuran yang jelas dan cermat tentang rekam jejak dan latar belakang, serta bukti-bukti dan saksi yang diperlukan. Untuk bisa melakukan hal ini, sangat dituntut kemampuan komunikasi interpersonal, ketajaman intuisi, serta kearifan para anggota Polri yang bertugas di lapangan.

http://mediaindonesia.com/webtorial/ycab/?ar_id=NTE0

Read More...

Blue Print Pembaruan Sistem Pelaksanaan Ditjen Pemasyarakatan

11 September 2008

Kamis, 04 September 2008

Jakarta, hukumham.info--Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia (Depkumham) bekerjasama dengan Asian Foundation mengadakan rapat dalam rangka menguji kekuatan blue print (cetak biru) Pemasyarakatan sesuai dengan schedule yang dihadapi para kepala unit di lingkungan Ditjen Pas.

Dalam sambutan pembukaannya, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono menyatakan, beberapa kali masalah blue print telah dilokakaryakan.

Maksudnya, agar ada masukan untuk perombakan di lingkungan Pemasyarakatan. "Tanpa ada perombakan paradigma kepemimpinan, Pemasyarakatan tidak akan mendapat perubahan yang berarti," ujar Untung pada acara "Cetak Biru Pembaruan Sistem Pelaksanaan Pemasyarakatan" di Hotel Sriwijaya, Jakarta (04/09).

Pertemuan diwakili oleh tiga orang kepala kanwil, yaitu, dari Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan. Lima orang kepala divisi, yaitu dari Jambi, Bangka Belitung, Jawa Barat, DKI Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, dari lingkungan Ditjen Pemasyarakatan dan dari Asian Foundation.

Untung menambahkan, konsultasi yang diadakan ini agar searah dengan paradigma yang diinginkan, yaitu perlunya perubahan (minimnya kapasitas, kompleksnya persoalan, filosofi penghukuman, HAM, dan governance). "Diharapkan dari pertemuan ini dapat memberikan masukan. Para peserta diharapkan agar turut serta untuk memenuhi kebutuhan, turut serta menyusun, turut serta mendukung dan turut serta melakukan pembaharuan."

Secara umum, tujuan disusunnya naskah blue print Pembaruan Pemasyarakatan adalah terumuskannya suatu dokumen yang lengkap dan tuntas. Dokumen ini menjadi panduan bagi semua pihak dalam upaya meneguhkan posisi Pemasyarakatan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi Pemasyarakatan serta penegakan hukum di Indonesia.

Cetak Biru Pembaruan Pemasyarakatan adalah dokumen yang menjabarkan pemikiran, gagasan, dan aspirasi mengenai pembaruan Pemasyarakatan yang disusun atas dasar kondisi-kondisi obyektif sistem Pemasyarakatan yang berjalan selama ini untuk merumuskan suatu formula perbaikan/perubahan yang meliputi rencana tindak yang terperinci, konkrit dan terukur yang diharapkan menjadi arahan bagi kebijakan Pemasyarakatan dimasa datang.

Secara khusus, naskah Cetak Biru Pembaruan Pemasyarakatan bertujuan untuk : Pertama, memberikan gambaran mengenai kondisi obyektif saat ini sebagai sarana refleksi dan evaluasi atas pelaksanaan sistem Pemasyarakatan; Kedua, merumuskan langkah-langkah strategis di masa mendatang dalam kerangka melaksanakan misi Pemasyarakatan untuk menjawab tantangan dan hambatan yang ada; Ketiga, secara praktis naskah Cetak Biru Pembaruan Pemasyarakatan merupakan dokumen utama yang menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Strategis Pembangunan Direktorat Pemasyarakatan tahun 2009 – 2014.***

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=1305&Itemid=43



Read More...

25 Napi Cipinang Dididik Jadi Terapis

28 Agustus 2008

Laporan Wartawan Kompas.com Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, SELASA - Sekitar 500 narapidana kasus narkoba telah mendapatkan pengetahuan awal tentang metode Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) yang diberikan lebih dari 40 terapi (SEFTer) dari Logos Institute di LP Narkotika Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (26/8).

Beberapa napi mengaku pembekalan yang diberikan terlalu singkat. "Cuma bentar, ya lumayan sih. Nanti belajar sendiri. Tapi maunya jangan sekali doang, takutnya lupa. Seminggu sekali misalnya," kata salah satu napi, Johan.

Johan, sempat mengikuti terapi SEFT karena ingin berhenti merokok. Setelah diterapi oleh seorang SEFTer, dengan diberikan totokan di 9 titik meridian, Johan merasakan rokok yang dihisapnya menjadi hambar. "Saya heran juga, kok rasanya jadi hambar, enggak nikmat lagi. Mudah-mudahan saja, bisa lepas dari rokok selamanya," harap Johan yang telah 2 tahun mendekam di penjara.

Metode SEFT, terang penemunya, Ahmad Faiz Zainuddin bisa menyembuhkan berbagai persoalan fisik dan emosi yang asalnya dari dalam tubuh. Kuliah umum mengenai SEFT kepada para napi, diharapkan mereka bisa menjadi lebih mandiri untuk menyembuhkan segala macam penyakit maupun mengendalikan emosinya yang cenderung labil ketika ada di dalam penjara.

"Ini bisa diterapkan untuk semua penyakit, karena penyakit itu dasarnya karena ada gangguan energi di tubuh. Jadi, mereka hanya perlu mengetahui titik-titik utamanya apa saja. Kemudian, pasrah dan melakukan metode ini sambil terus berdoa pada Tuhan," kata Faiz.

Tindak lanjut dari kuliah umum pada para napi ini, rencananya Logos akan mengirim beberapa alumninya untuk memberikan kemampuan menerapi lebih lanjut kepada 25 orang napi. Harapannya, mereka bisa menyembuhkan dan menularkan ilmunya kepada napi yang lain. Terutama, persoalan besar bagi para pecandu narkoba adalah memerangi keinginan mengkonsumsi obat-obatan terlarang itu. "Idealnya memang training 2 hari selama 24 jam penuh. Tapi nanti kita akan ambil sample 25 orang napi untuk memperdalam," kata Faiz.

Sementara itu, Kasie Pembinaan Narapidana LP Narkotika Cipinang Tribowo mengapresiasi pemberian materi metode SEFT kepada para narapidana. Menurutnya, metode ini bisa membantu proses pemulihan pada napi, terutama yang masih candu terhadap narkoba. Kedepannya, ia berharap program ini bisa berlanjut dan pada napi bisa mengobati dirinya sendiri.

Dalam kuliah umum tadi, ratusan napi diberitahu 9 titik untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan gangguan fisik dan emosi yang dihadapinya. Mereka yang melakukan terapi ini harus berkonsentrasi dan bisa merasakan sakit yang dirasakannya.

Awalnya, harus menemukan titik sakitnya, dengan menekan dada kiri bagian atas (Sore Spot) atau mengetuk dua ujung jari ke bagian samping telapak tangan kiri (Karate Chop). Setelah menemukan titik sakit, dilanjutkan dengan penotokan di 9 titik.

Kesemuanya menggunakan dua jari, telunjuk dan jari tengah). Pertama, menotok bagian atas kepala (ubun-ubun) atau dalam akupuntur disebut Crown Point (Cr). Kedua, pangkal alis mata (Eye Brow Point/EB). Ketiga, ujung mata atau Side of Eye Point (SE). Keempat, Under Eye Point (UE) atau menotok bagian bawah mata. Kelima, bagian bawah hidung atau Under Nose Point (UN). Keenam, bawah dagu (Chin Point/Ch).

Ketujuh, pada dua 'kelereng' di tulang bawah leher. Kedelapan, menepuk bagian bawah ketiak, dan kesembilan, bagian bawah payudara atau disebut titik akar payudara.

Menurut Faiz, bagi pemula, dengan mengetahui 9 titik tersebut sudah bisa melakukan terapi sendiri. Yang tak boleh dilepaskan, selama melakukan terapi disertai doa keikhlasan dan menyerahkan kesembuhan pada Tuhan. Selain 9 titik itu, masih terdapat 9 titik lainnya.


Inggried Dwi Wedhaswary

http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/26/12361378/25.napi.cipinang.dididik.jadi.terapis

Read More...

500 Napi Narkotika Ikuti Terapi Penyembuhan

JAKARTA - Sekira 500 narapidana di Lembaga Permasyarakatan Narkotika Cipinang, Jakarta mengikuti terapi narkoba dengan pendekatan spiritual. Program yang disebut dengan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) ini dilaksanakan untuk pertama kalinya.


Kepala Lapas Narkotika Cipinang Wibowo Joko Haryono menegaskan bahwa metode ini baru pertama kalinya diterapkan di Lapas narkotika Cipinang. Metodenya sendiri merupakan penggabungan antara sisi spiritual melalui doa dan psikologi. Kami bekerjasama dengan Logos Institute yang menjadi instruktur.

"Metode ini diyakini dapat menyembuhkan mereka yang memiliki ketergantungan narkoba," ungkap Wibowo, .

Wibowo mengatakan terdapat 2.800 penghuni LP narkotika Cipinang saat ini. Dirinya menegaskan perlu menentukan metode mana yang sesuai untuk menyembuhkan ketergantungan napinya. Mulai dari Therapy Community, Terapi terpadu, Terapi Medik, Sosial, dan Mental. Dia pun mengakui masih memberikan pil methadone untuk membantu penyembuhan tersebut. "Kami memberikan pil methadone hingga tingkat ketergantungan disembuhkan secara bertahap," katanya.

Metode terapi bagi pecandu narkotika sebenarnya ada beberapa macam metode yang dapat digunakan. Namun terapi SEFT ini diklaim Logos Institute kefektifitasannya mencapai angka 80 persen untuk menyembuhkan ketergantungan terhadap barang haram itu. Metode SEFT ini diadaptasi dari asalnya di Amerika, lalu dikembangkan di Indonesia sejak 2005. "Melalui terapi ini mereka (para pecandu) dapat menerapi diri mereka sendiri," ungkap instruktur dari Logos Institute Ahmad Faiz Zainuddin.

Pria jebolan Sarjana Psikologi lulusan Universitas Airlangga Surabaya itu menjelaskan bahwa selain doa, metode ini juga menggunakan teknik tapping atau ketukan ringan pada sembilan titik tertentu pada tubuh.

"Cukup beberapa kali pertemuan maka pasien bisa sembuh total," ungkapnya. Teknik ketukan tersebut menurutnya merupakan penerapan tekhnik psikologi energi.

Andi (23), seorang napi yang sudah menjalani hukuman selama enam bulan mengaku senang dengan diperkenalkannya terapi ini. "Sampai sekarang saya masih ingin pake," ungkapnya

Dia pun berharap SEFT dapat membebaskannya dari ketergantungan terhadap narkoba. Menurut pengakuannya dia ditangkap polisi karena memakai dan mengedarkan putau. Diakuinya, saat ini dia sudah bertaubat atas perbuatannya dimasa lalu, namun terkadang rasa ingin menggunakan barang haram itu masih terus membayangi. "Dengan mengikuti program ini saya dapat merasakan dampak positif. Sekaligus juga tambahan semangat untuk berhenti," akunya.

Acara terapi selama dua jam tersebut berlangsung dengan tertib. Para narapidana mengikuti arahan dari instruktur dengan antusias dan seksama. Mereka duduk dengan rapi disebuah tenda yang didirikan di lapangan. (Isfari Hikmat/Sindo/ful)

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/08/26/1/140220/500-napi-narkotika-ikuti-terapi-penyembuhan

Read More...

Terobosan Terhadap Regulasi Pemasyarakatan

09 Juli 2008

Selasa, 08 Juli 2008



Jakarta, hukumham.info--Kedewasaan dan kematangan jajaran pemasyarakatan saat ini berjalan seiring dengan bergulirnya tuntutan masyarakat akan kinerja pemerintahan yang bersih, profesional dan akuntabel



Perubahan dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan membawa dampak demokrasi pembinaan yang mengedepankan penghormatan dan penegakan hak asasi para narapidana serta demokratisasi pembinaan.



Disamping dampak positif yang manusiawi, demokrasi pembinaan juga mengandung dampak negatif, yaitu menurunnya disiplin narapidana, narapidana kurang hormat (dalam arti menghargai petugas) dan petugas terlalu berhati-hati dalam menindak narapidana yang melakukan pelanggaran karena adanya sangsi atasan terlalu berat dan tidak berjenjang.



Menteri Hukum dan HAM RI Andi Mattalata mengemukakan, guna meraih kinerja yang optimal, setidaknya ada empat hal yang perlu dimiliki oleh petugas pemasyarakatan. “Karya yang tinggi, perilaku positif, kemampuan adaptasi dan resolusi identitas,” ujar Andi pada Pembukaan Kegiatan Peningkatan Tugas Pokok Pemasyarakatan di Cisarua, Jawa Barat (07/07).



Penataan kembali terhadap berbagai peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan juga merupakan satu hal yang mempunyai nilai strategis dan harus dilakukan secara komprehensif menyangkut seluruh aspek pelaksanaan tugas jajaran pemasyarakatan.





“Diharapkan melalui penyelenggaraan peningkatan tugas pokok dan fungsinya dapat menjadi wahana untuk melakukan instropeksi terhadap langkah yang telah kita jalani,” tegas Andi.



Sekretaris Direktur Jenderal Pemasyarakatan Didin Sudirman mengatakan, dampak dari transformasi global berpengaruh terhadap kejahatan baik yang bersifat transnasional crime, organized crime, economic crime maupun berbagai tindakan pidana yang bersifat konfensional dan tradisional. “Ini semua tidak dapat dilepaskan dari pengaruh situasi lingkungan strategis dan perkembangan dari waktu ke waktu, baik dalam skala nasional, regional, maupun internasional,” ujar Didin.



”Namun begitu, pemasyarakatan akan meningkatkan upaya dalam pelaksanaan tugas untuk melakukan terobosan terhadap regulasi serta melakukan evaluasi pembahasan yang akan dijadikan pedoman agar pelaksanaan kinerja setiap unit pelaksana teknis pemasyarakatan di Indonesia dapat terukur, akuntabel dan transparan.” kata Didin menambahkan.***





http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=1029&Itemid=43




Read More...

Australia, Help Me Please

Televisi Australia Tayangkan Kehidupan Corby di Lapas Bali



DENPASAR - Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar, Bali, kecolongan. Sebuah rekaman video yang menggambarkan kehidupan terpidana narkoba Schapelle Liegh Corby dalam penjara muncul dalam tayangan televisi Australia, Channel Nine.



Penggambaran hari-hari Corby dalam lapas tersebut merupakan bagian dari tayangan kasus Corby mulai ditangkap di Bandara Ngurah Rai Oktober 2004, saat disidang, sampai dijebloskan ke dalam penjara. Secara keseluruhan, tayangan tersebut berdurasi dua jam.



Dalam salah satu bagian tayangan tersebut, terlihat Corby berbicara dengan nada memelas. ''Australia, help me (Australia, tolong saya).''



Sejauh itu, para petinggi Lapas Kerobokan terkesan mengabaikan tayangan tersebut. Pertanyaannya, bagaimana pengambilan gambar kehidupan Corby dalam lapas tersebut dikerjakan?



Padahal, selama ini, ada larangan untuk merekam kehidupan narapidana dalam Lapas Kerobokan. Apalagi dilakukan media asing dan untuk ditayangkan seperti itu.



Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Kerobokan Maliki mengaku baru mendengar adanya tayangan tentang Corby di Channel Nine tersebut. ''Dari mana mereka mendapat gambar, saya tidak tahu,'' ujarnya.



Menurut dia, selama memimpin, dirinya tidak pernah mengizinkan pengambilan gambar, apalagi perekaman menggunakan kamera video dalam Lapas Kerobokan. Dia menduga rekaman itu dibuat saat dirinya belum memimpin lapas. ''Rekamannya seperti sudah lama,'' ungkapnya.



Tayangan soal Corby tersebut muncul hanya selang beberapa hari setelah narapidana perempuan berusia 20 tahun itu dilarikan ke RS Sanglah, 20 Juni lalu. Sampai saat ini pun, dia masih berada di sana. ''Tim dokter belum menyampaikan laporan perkembangan Corby selama diopname di RS Sanglah,'' jelas Maliki.



Meski berstatus narapidana (napi), pihaknya tak bisa membatasi berapa lama dia dirawat di luar lapas. ''Itu sangat bergantung tim dokternya. Kalau dokter mengatakan boleh kembali ke lapas, ya pasti kami masukkan lagi,'' tegasnya.



Erwin Siregar, kuasa hukum Corby, malah mengaku belum tahu perkembangan kesehatan Corby. ''Saya belum sempat besuk ke rumah sakit. Rencananya besok (hari ini, Red) baru saya cek langsung,'' katanya menghindar.



Soal tayangan di Channel Nine tersebut, dia mengaku belum mengetahui. (rid/jpnn/ruk)



http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=9031



Read More...

Lapas/Rutan Bebas Narkoba Tahun 2015

20 Juni 2008

Jakarta, hukumham.info— Badan Narkotika Nasional (BNN) memprediksi Indonesia akan bebas narkoba tahun 2015. Jika program pengatasan overkapasitas lapas/rutan berhasil, bukan tidak mungkin lapas/rutan juga akan bebas narkoba tahun 2015.

Overkapasitas disinyalir oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan (Pas) Untung Sugiyono sebagai penyebab penyalahgunaan narkoba di lapas dan rutan. Untuk itu, berbagai strategi digunakan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pas untuk mengatasinya.

”Berdasarkan perhitungan yang kami lakukan untuk mengurangi overkapasitas, saat ini kami sedang mengatasinya dengan membangun dan ruang hunian baru, rehabilitasi ruang hunian lapas/rutan, pemerataan penghuni lapas/rutan, serta optimalisasi Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB),” ujar Untung saat membuka Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba untuk Kalangan Petugas Lapas/Rutan di Lapas Klas I Tangerang, Banten (19/06).

”Jika kondisi orang keluar dan masuk lapas sama seperti tahun-tahun lalu, ruang hunian yang dibangun sama seperti tahun-tahun sebelumnya, serta PB, CMB, dan CB diberikan optimal, maka 2-3 tahun lagi overkapasitas bisa diatasi. Tapi dengan catatan, kondisinya harus sama,” kata Untung di hadapan 94 petugas Lapas/Rutan se-Indonesia.

Untung berkesimpulan, jika overkapasitas bisa diatasi, maka penyalahgunaan narkoba di lapas/rutan juga bisa diatasi. ”BNN mencanangkan bahwa Indonesia bebas narkoba tahun 2015. Jika tahun 2012 kita bisa menangani overkapasitas, maka empat tahun kemudian kita bisa mendukung pernyataan BNN bahwa Indonesia akan bebas dari narkoba tahun 2015,” lanjut Untung.


Saat ini, Untung mengakui bahwa 30% penghuni lapas/rutan di Indonesia menyandang kasus narkoba. Bahkan di kota-kota besar, kasus narkoba disinyalir mencapai 50% sampai 60%.
”Kita lihat di Lapas Klas I Tangerang ini, dari 1879 penghuni lapas, kasus narkobanya 879 orang, atau sekitar 60%-nya. Untuk itu tidak menutup kemungkinan di tempat lain juga, tren ini terus naik. Belum mencapai titik jenuh,” papar Untung.***

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=990&Itemid=43


Read More...

Sistem pemasyarakatan Indonesia belum tersentuh semangat reformasi dan kebangkitan nasional

13 Juni 2008

Ghali Zakaria (06/06/2008 - 03:36 WIB)





Jurnalnet.com (Jakarta): Beberapa waktu lalu kita sebagai bangsa Indonesia merayakan momentum bersejarah sepuluh tahun Reformasi dan se-Abad Kebangkitan Nasional. Pada dasarnya reformasi dan kebangkitan nasional merupakan bentuk perwujudan kepedulian rakyat Indonesia terhadap kemiskinan, pendidikan, degradasi moral, Interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa lain dan masalah-masalah lain yang dihadapi negara yang tercinta ini menuju kesejahteraan sosial dan integrasi nasional yang mapan.



Mungkin yang terlupakan dalam semangat reformasi dan kebangkitan nasional adalah pembenahan di sektor sistem pemasyarakatan Indonesia. Apabila masalah yang terlupakan ini dibiarkan terus-menerus hampir dipastikan semangat cita-cita bangsa Indonesia tidak akan sempurna.



Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah selaku pembuat keputusan selama ini terhadap permasalahan di dalam sistem pemasyarakatan Indonesia belum terasa efeknya secara positif. Sebenarnya, pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia bukan hanya memiliki efek jera terhadap pelaku kejahatan melainkan melihat kegunaan efek penghukuman tersebut sebagai hukuman itu sebagai kontrol sosial yang mempunyai dasar mencegah kejahatan yang diperbuat tidak terulang kembali, sebagai penopang moral masyarakat yang taat pada hukum, dan memberi bekal hidup kepada pelaku tindak kejahatan.



Hal ini termaktub dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan, bahwa Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.



Secara normatif memang seperti itu tapi dalam implementasinya sangat jauh dari keberhasilan bila dilihat permasalahan-permasalahan pelik yang dihadapi sistem permasyarakatan Indonesia dengan serangkaian kebijakan pemerintah.



Kelebihan Kapasitas



Lebih besar pemasukan daripada pengeluaran itu menggambarkan kondisi penjara ini. Sebagian besar lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia over kapasitas. Kelebihan kapasitas ini kalau dirunut lebih jauh memiliki efek domino terhadap permasalahan yang muncul kepermukaan sehingga kebijakan yang diberikan pihak lembaga permasyarakatan kurang maksimal.



Berdasarkan data dari Departemen Hukum dan HAM jumlah penghuni dengan Rumah Tahanan dan Lembaga pemasyarakatan dari tahun ke tahun mengalami lonjakan yang signifikan misalnya tahun 2003 jumlah tahanan dan narapidana 71.587 orang dengan kapasitas hunian 64.345 orang, tahun 2004 jumlah tahanan dan narapidana 86.450 orang dengan kapasitas 66.891 orang, tahun 2005 jumlah tahanan dan narapidana 97.671 orang dengan kapasitas hunian 68.141 orang.



Sedangkan data yang terakhir pada tanggal 17 agustus 2006 jumlah tahanan dan narapidana diseluruh Indonesia berjumlah 116.668 orang dengan kapasitas hunian 70.241 orang. Pelonjakan angka-angka ini tidak cukup “mengagetkan” apabila dilihat dari kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah.



Bentuk-bentuk kebijakan yang dapat menimbulkan permasalahan akibat dari kelebihan kapasitas ini.



Pertama, kebijakan kesehatan kurang maksimal sehingga hak dasar kesehatan narapidana tidak terpenuhi. Dengan demikian, keterbatasan anggaran dan penghuni lembaga pemasyarakatan yang merupakan masalah klasik menjadi permasalahan utama dalam menambah keterpurukan lembaga pemasyarakatan.



Kedua, kebijakan terhadap pelaku tawuran didalam penjara. Dalam hal ini, pihak lembaga hanya bersifat reaktif dalam melihat tawuran di dalam penjara tanpa melihat kebijakan pencegahan tawuran tersebut ketika sudah terjadinya tawuran barulah pihak dari lapas mencari sebab-musabab tawuran dan melakukan razia sejata tajam di lembaga permasyarakatan. Kasus ini sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan pengawasan yang ketat dan tingkat kewaspadaan terhadap pola tingkah laku narapidana.



Ketiga, penjara menjadi sekolah kejahatan. Dalam kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, pihak lembaga melupakan pemilahan antara residivis dengan first offender atau orang yang melakukan kejahatan untuk pertama kalinya. Menurut Sutherland yang merupakan tokoh kriminolog paradigma positivis dalam teori Differential Association ditekankan bahwa penentu kejahatan terletak dalam hubungan pelaku dengan lingkungan dimana ia melakukan interaksi sosial sehingga dapat menghasilkan kejahatan.



Dalam hal interaksi sosial seseorang belajar apa yang terjadi di lingkungannya. Demikian juga halnya, jika tidak difokuskan pemilahan antara residivis dengan first offender hampir dipastikan keduanya berinteraksi sehingga adanya proses pembelajaran untuk melakukan kejahatan kembali.



Re-integrasi sosial



Dalam rangka mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi tenaga yang terampil, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit, pendidikan, dan lain-lain.



Dalam menjalani hukuman ini diharapkan narapidana dapat interaksi sosial yang harmonis antara ex-napi dengan masyarakat setelah mereka bebas. Hal ini didukung prinsip-prinsip pemasyarakatan sebagai dasar pembinaan dari Sistem Pemasyarakatan adalah sepuluh prinsip Pemasyarakatan yaitu:



1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.



2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.



3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.



4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.



5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.



6. Pekerjaan yang dibenikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.



7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.



8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah juga manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.



9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya.



10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana dengan fungsi-fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem Pemasyarakatan.





Permasalahan utamanya adalah narapidana sudah mendapat stigma buruk dari masyarakat sehingga sering muncul bahwa narapidana itu sampah masyarakat dan pemerintah sendiri kurang adanya sosialisasi pemahaman makna narapidana itu sendiri. Padahal dalam pembinaan narapidana dalam memberikan keterampilan, harmonisasi pola hubungan antara pihak narapidana dengan pihak pemerintah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembinaan narapidana dalam memberikan keterampilan di lembaga permasyarakatan, selain dukungaan penuh dari komponen-komponen pendukung seperti masyarakat dan pihak lembaga pemasyarakatan itu sendiri.



Selain itu sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Pemerintah mempunyai tujuan meningkatkan kesadaran bersama. Pola pembinaan keterampilan narapidana akan eksistensinya sebagai manusia melalui tahap perenungan akan ego, motivasi ideal secara kolektif dan kesadaran indvidu yang didukung kesadaran kolektif. Hal tersebut belum menampakkan secara kongkret adanya keterampilan narapidana di lembaga permasyarakatan disebabkan oleh kebijakan strategis pemerintah terhadap fokus terhadap anggaran untuk keterampilan narapidana sangat minim.



Pidana Alternatif



Jika melihat perkembangan penologi saat ini sudah ada pemikiran bahwa melakukan penghukuman tidak harus di dalam lembaga permasyarakatan. Akan tetapi penghukumannya di dalam masyarakat itu sendiri sehingga muncul pidana alternatif dengan cara bekerja sosial atau membayar denda dengan sejumlah uang tertentu kepada Negara.



Hal ini lebih cocok apabila ada koridor yang jelas dalam menjalankan pidana alternatif ini. Pemberlakuan pidana alternatif hanya untuk tindak pidana ringan dan idealnya diberikan kepada kategori anak dan seseorang yang baru melakukan kejahatan agar menjadi pembelajaran yang berguna bagi dirinya dan masyarakat secara langsung dapat manfaatnya.



Dengan demikian, konsep pembangungan sistem pemasyarakatan Indonesia tidak terlepas dari pemerintah selaku pembuat kebijakan dalam implementasinya selalu terbentur elemen-elemen yang berada didalamnya. Dalam rangka momentum semangat Hari Bhakti, Reformasi, dan Kebangkitan Nasional. Akankah hal ini mengurangi semangat kita untuk melakukan pembenahan disegala sektor kemanusiaan termasuk sistem pemasyarakatan Indonesia. Merdeka.***



*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Indonesia, Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Anggota Aktif MAPALA UI.



http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=KolomFeature



Read More...

Napi Narkoba LP Kerobokan Diterapi Seni

11 Juni 2008



Kerobokan, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan Bali punya cara unik dalam mengobati napi narkoba yang masih kecanduan heroin. Selain dengan menggunakan terapi metadon untuk mengurangi ketergantungan heroin, napi narkoba pecandu heroin di LP ini juga diterapi dengan seni gambelan tradisonal tek-tekan serta tari kecak.



Terapi seni bagi napi narkoba di LP Kerobokan ini sudah dimulai sejak setahun terakhir. Selain menjalani program metadon di klinik LP dengan obat-obatan tertentu, para napi narkoba juga menjalani terapi kesenian tek-tekan, salah satu musik tradisonal bambu dari Bali.



Dalam terapi musik tek-tekan ini, para napi dilatih untuk bermain dalam Kelompok. Tujuan dari terapi musik tek-tekan ini adalah untuk meningkatkan kekompakan antar napi dan menumbuhkan rasa percaya diri para napi narkoba.



Selain terapi musik tradisonal tek-tekan, para napi narkoba ini juga diterapi dengan seni tari kecak. Sama halnya dengan tek-tekan, dalam terapi tari kecak ini, para napi juga melakukan aktivitas berkelompok secara bersama-sama.



Terapi seni ini, bagi beberapa napi narkoba membawa manfaat yang cukup berarti, terutama bagi pemulihan kondisi tubuh mereka.



“ Saya kecanduan heroin selama 25 tahun. Sebelum ikut terapi ini, kondisi badan saya parah sekali. Kalu jalan sempoyongan, seperti orang sakit TB (tuberculosis). Setelah ikut terapi ini, puji Tuhan, kondisi saya membaik, sudah seperti orang normal lagi,” kata Laurensius (55), salah seorang napi narkoba.



“ Saya mulai kenal putaw sejak ada di penjara ini (Kerobokan). Dulu kondisi fisik dan pikiran saya parah. Setiap hari mikirnya ya cuman obat saja, bagaimana caranya agar bisa dapat putaw. Sejak ikut terapi ini, pikiran saya sudah tidak ke sana (obat) lagi,” kata Syamsul (39), napi narkoba lainnya.



Saat dimulai, program terapi seni untuk napi narkoba ini banyak menemui kendala. Salah satunya adalah rendahnya disiplin dan rasa percaya diri dari para napi, terutama yang sudah dalam kondisi kecanduan parah.



Saat pentas pertama kali di depan umum, para napi ini juga minta agar bisa mengenakan topeng, agar tidak malu.



“Melakukan terapi seni untuk para napi narkoba ini cukup sulit. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menyuruh mereka memainkan alat musik tektekan atau tari kecak. Tapi pada perkembangan selanjutnya, para napi ini mulai percaya diri dan bisa berkonsentrasi lagi. Menumbuhkan konsentrasi ini yang penting agar mereka bisa melupakan narkoba,” kata Kalapas Kerobokan, Ilham Djaya.





Di LP Kerobokan Denpasar terdapat sekitar 380 napi narkoba, namun hingga kini baru sekitar 35 napi narkoba yang ikut program terapi kesenian ini. Secara bertahap, seluruh napi narkoba yang ada di LP ini akan diikutkan dalam program terapi seni ini. (bob)



http://www.beritabali.com/?reg=bdg&kat=&s=news&id=200803290005








Read More...

Harm Reduction: Indonesia Harus Belajar Dari Iran!

09 Juni 2008

Indonesia mungkin layak berkaca pada Iran, salah satu negara penghasil opium terbesar sesudah Amerika Selatan, karena melalui Program Harm Reduction mampu meredam pemakaian jarum suntik secara ilegal di lapas-lapas atau penjara.



Dan negara ini pun telah mampu meredam angka penularan HIV / AIDS di kalangan napi di lapas-lapas. Jika kesuksesan ini mampu meredam angka penularan HIV/AIDS, mengapa kita tidak mencobanya?



Iran adalah salah satu negara yang berhasil menjalankan program ini, - tanpa menebarkan lebih banyak lagi jarum suntik. Apa rahasianya? Saat ini, terdapat lebih dari 2,5 juta pengguna napza di Iran. Penggunanya pun lebih banyak kaum pria sehingga masalah ini dikategorikan sebagai *male issues*. Upaya untuk menghambat distribusi obat-obatan dan jarum suntik juga dipandang tidak berhasil. Bahkan data terbaru tahun 2007 menyatakan bahwa terdapat sekitar 6.200 ton narkotika terdistribusi di kalangan penggunanya.



Selaras dengan itu, terjadi pula peningkatan jumlah pasien HIV/AIDS terutama di kalangan pengguna napza. Hal ini dianggap sebagai masalah ganda yang alami, karena keduanya saling terkait erat.



Departemen Kesehatan Iran mencatat terdapat sekitar 1300 kasus baru HIV/AIDS di awal tahun ini. Dikatakan oleh Azarakhsh Mokri, MD,PhD, Associate Professor dari Fakultas Psychiatry University of Iran, sama dengan kasus di negara-negara lain, penyebabnya terutama dikarenakan oleh penggunaan jarum suntik secara bergantian dan tidak steril. Peningkatan tertinggi bahkan terjadi di dalam penjara! Mokri mengatakan bahwa ini dikarenakan hukum negara Iran melarang keras penggunaan napza. Pelakunya dianggap kriminal dan langsung dipenjarakan.



Mokri menegaskan bahwa peningkatan penggunaan jarum suntik di dalam penjara cenderung lebih baik ketimbang bila terjadi di luar penjara. Meski demikian, bukan berarti hal ini akan dibiarkan terus menerus. "Pemerintah terus berupaya untuk mengurangi epidemi ini. Hal ini menjadi lebih baik karena konsentrasinya terpusat di dalam penjara," kata Mokri.



Saat ini yang dilakukan oleh pemerintah Iran adalah menggandeng perguruan tinggi dan lembaga setempat untuk program konseling dan terapi obat pengganti. Lebih dari 1.200 *private MMT centre *dibangun untuk memfasilitasi program ini. Enam ratus diantaranya dibangun di penjara dan berfungsi dengan sangat baik dengan cakupan mencapai 8.200 klien narapidana.



*Private Centre* ini menyediakan layanan konseling dan terapi obat pengganti (metadone dan buprenorphine). Para klen (narapidana) pun tidak kesulitan dalam mengakses layanan ini. Selain jarak yang dekat, para klien juga tidak

perlu membayar biaya apapun karena pemerintah Iran mensubsidi semua keperluan obat-obatan harian (metadone dan buprenorphine).



Para klien yang sudah keluar dari penjara atau masa tahanannya telah habis juga tetap bisa melanjutkan program ini dengan mengunjungi *private centre*terdekat. Dengan demikian prpgram konseling dan terapi obat bagi para klien tersebut tidak terhambat.



Program yang sudah berlangsung selama tujuh tahun ini memang belum menampakkan hasil yang signifikan. Bila terjadi penurunan kasus dalam penjara, terjadi peningkatan kasus baru yang terjadi di luar penjara.



Penyebab utamanya adalah Opium. Iran merupakan salah satu negara penghasil opium, - meski skalanya tidak sebesar Amerika Selatan. "Kami terus berusaha meregulasi hukum terhadap keberadaan ladang opium di Iran," kata Mokri. Jika hukum tersebut bisa diterima, maka ia yakin keberhasilan program Harm Reduction ini akan lebih terlihat.



Dalam sesinya di Kongres Internasional Harm Reduction ke-18 yang berlangsung di Warsawa 13-17 Mei 2007, Azarakhsh Mokri juga membagi kiatnya dalam membangun *private MMT Centre* ini. Untuk sebuah *private centre* yang mampu melayani 50 - 200 klien, dibutuhkan hanya ruangan seluas 75 meter persegi dengan fasilitator 1-2 orang perawat, 1 orang psikolog ataupun psikiater dan atau pekerja sosial, persediaan

metadone dan obat-obatan lain yang mendukung penyembuhan para pecandu, serta legalisasi dari lembaga kesehatan terkait.



Di Iran, *private centre* ini dianggap lebih efektif oleh pemerintah setempat karena biaya operasionalnya yang murah. "Setiap bulan, *private centre* ini hanya membutuhkan biaya opersional sebesar 50 - 75 US Dollar yang disokong oleh pemerintah maupun pendonor," kata Mokri.



Jika di Iran partisipasi pemerintah dan pendonor telah terjalin, apa yang terjadi di Indonesia malah sebaliknya. Pencegahan penularan HIV / AIDS di lembaga pemasyarakatan (lapas) terhalang kendala minimnya dana dan kurangnya jumlah tenaga medis. Hal ini membuat proses pencegahan penularan HIV di dalam lapas tidak berjalan efektif dan maksimal. Apalagi, hingga kini masih banyak ditemui kasus penyalahgunaan narkoba suntik di penjara, dengan resiko tertular HIV sangat besar, kata dr. Aida Fatmi, Ka.Subdin Kesehatan Masyarakat DKI Jakarta kepada rileks.com, di sela-sela bincang-bincang sehat bersama wartawan kesehatan.



"Masih ada kebiasaan menggunakan narkoba suntik secara ilegal di dalam penjara, suntikan yang digunakan pun bergantian," katanya. Padahal, dengan mengirim ke lapas, kondisi pecandu narkoba tidak akan menjadi lebih baik. Pasalnya kondisi sanitasi di lapas sangat buruk, penuh sesak dan makanan yang disajikan pun alakadarnya. Akibatnya, resiko tertular pun sangat tinggi. Kecil kemungkinan para pecandu yang ada dalam satu sel tidak menulari rekan satu selnya, tegas Aida



Sebagai Ibukota negara, DKI Jakarta sendiri telah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi (KPAP) dengan Kelompok Kerja (Pokja) Penanggulangan HIV/AIDS di LP dan rutan, dimana fungsi komisi ini untuk mengawasi dan melaporkan perkembangan penyakit HIV/AIDS di setiap LP dan rutan.



"Hasilnya memang cukup signifikan, karena dari pokja-pokja yang dibentuk, jumlah pengidap HIV / AIDS dan data korbannya dapat terdeteksi dengan cepat," kata Ketua Pelaksana Harian KPAP DKI Jakarta, Drs. Priyadi.



Penangangan korban HIV/AIDS nya sendiri, lanjutnya, meski terbentur dengan minimnya dana dan tenaga medis. Secara keseluruhan, aku Priyadi, dana kesehatan untuk pengidap HIV/AIDS tidak ada. Budget dana yang disediakan pemerintah diberikan untuk keseluruhan penyakit. Tidak secara spesifik untuk pengidap HIV/AIDS, tegasnya.



Jadi, jika pemerintah dan masyarakat mau berkaca dari kesuksesan Iran menekan angka penyebaran HIV / AIDS di lapas, mungkin Indonesia bisa dijadikan proyek penelitian dunia. Karena untuk kasus pengidap HIV / AIDS, Indonesia termasuk negara yang cukup diwaspadai, pungkas Aida.


[lili/hep/redaksi_rileks@yahoo.com]



Read More...

PSIKOLOGI FORENSIK

06 Juni 2008

Posted by apsi



Kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin menggelisahkan. Di Indonesia saja,peristiwa gadis yang digagahi orang tuanya sendiri atau diperkosa masal oleh anak-anak seumur jagung seperti sudah menjadi warta harian yang dapat disimak lewat media massa.



Sayang, tingginya pemberitaan tentang malapetaka itu tidak berpengaruh banyak terhadap tingkat kewaspadaan masyarakat akan bahaya yang ditebar para pelaku. Padahal, the real terrorist itu, celakanya, hidup di tengah-tengah masyarakat sendiri.



Permasalahan Psikologi Forensik di Indonesia



Berbagai permasalahan terkait dengan proses peradilan pidana semakin banyak terjadi di Indonesia. Permasalahan tersebut seringkali hanya diperhitungkan sebagai permasalahan hukum semata. Berikut beberapa permasalahan hukum yang sangat akrab dengan kita sehari-hari.



Berbagai kasus kriminal



Berita ibu yang membunuh anaknya, terjadi di Malang, Bandung dan Pekalongan (Jawa Pos, 24 Maret 2008). Pada kasus di Malang, si ibu akhirnya mengakhiri hidup bersama 4orang anaknya (berita Metro TV, 23 Maret 2008 pukul 12:00. Seorang perempuan bernama “N” terpaksa membunuh bekas kekasihnya yang melakukan kekerasan selama 6 tahun (Jawa Post, 1 Desember 2007). Di Kediri, seorang anak berusia 14 tahun membunuh teman mainnya yang berumur 5 tahun gara-gara berebut buah chery. Korban dibunuh dengan cara ditenggelamkan dan disilet-silet



Permasalahan terkait dengan Pengadilan



Istilah sehat mental yang digunakan dalam pengadilan antar-hakim (Probowati, 2001), antara psikolog/psikiater (ahli kesehatan mental) dengan hakim tampak tidak selaras (Pariaman, 1983)



Permasalahan penanganan lembaga pemasyarakatan



Rehabilitasi kriminalitas dari aspek psikologis di lapas-lapas Indonesia hampir dikatakan minim dan nyaris belum ada.



Semakin banyak permasalahan di masyarakat yang menuntut psikologi forensik untuk memberikan sumbangan penyelesaian, namun pengembangan psikologi forensik sendiri di tanah air masih lamban.



DEFINISI PSIKOLOGI FORENSIK



The committee on ethical Guidelines for Forensik Psychology mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum. Luasnya bidang psikologi forensik dan penggunaan istilah yang beragam membuat seringkali masyarakat menjadi bingung akan tugas psikolog forensik serta istilah yang paling tepat digunakan. Ada yang menggunakan istilah psychology and criminology, psychology of court room, investigative psychology. Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR).



Psikologi forensik : ilmuWan dan pRaktisi



Individu yang berkecimpung pada psikologi forensik dapat dibedakan menjadi :



Ilmuwan psikologi forensik. Tugasnya melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia dalam proses hukum.



Praktisi psikolog forensik. Tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan permasalahan hukum.



Berikut akan dipaparkan praktisi psikolog forensik, karena asosiasi psikologi forensik akan lebih banyak bergerak di praktisi, walau tidak melupakan pengembangan keilmuannya.



Praktisi Psikolog Forensik



Psikolog forensik adalah psikolog yang mengaplikasikan ilmunya untuk membantu penyelesaian masalah hukum. Di Indonesia, profesi psikolog forensik masih kurang dikenal, baik di kalangan psikolog maupun di kalangan aparat hukum



Tugas psikolog forensik pada proses peradilan pidana adalah membantu pada saat pemeriksaan di kepolisian, di kejaksaan, di pengadilan maupun ketika terpidana berada di lembaga pemasyarakatan. Gerak psikolog dalam peradilan terbatas dibanding dengan ahli hukum. Psikolog dapat masuk dalam peradilan sebagai saksi ahli (UU RI nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP). Oleh karena itu diperlukan promosi kepada bidang hukum akan pentingnya psikologi dalam permasalahan hukum, sehingga dalam kasus-kasus pidana, ahli hukum mengundang psikologi. Tanpa undangan aparat hukum, maka psikologi akan tetap berada di luar sistem dan kebanyakan menjadi ilmuwan, dan bukan sebagai praktisi psikolog forensik.



Inti kompetensi psikolog adalah asesmen, intervensi, dan prevensi. Yang membedakan psikolog forensik dengan psikolog lainnya adalah konteks tempat ia bekerja. Psikolog forensik menerapkan kompetensi asesmen, intervensi, dan prevensinya dalam konteks permasalahan hukum.



Tugas psikolog forensik



Berikut akan dipaparkan beberapa tugas psikolog forensik di setiap tahap proses peradilan pidana.



Kepolisian



Pada pelaku.



Interogasi bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Teknik lama yang digunakan polisi adalah dengan melakukan kekerasan fisik, teknik ini banyak mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan akan kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan menggunakan teori psikologi dapat digunakan misalnya dengan teknik maksimalisasi dan minimalisasi (Kassin & McNall dalam Constanzo, 2006). Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi tentang teknik interogasi yang menggunakan prinsip psikologi.



Criminal profiling dapat disusun dengan bantuan teori psikologi. Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak pelaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Misal pada kasus teroris dapat disusun criminal profile dari teroris, yang berguna dalam langkah penyidikan di kepolisian maupun masukan bagi hakim (misalnya apakah tepat teroris dihukum mati atau hanya seumur hidup).



Psikolog forensik juga dapat membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku.



Pada Korban. Beberapa kasus dengan trauma yang berat menolak untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan penggalian informasi terhadap korban, misal pada anak-anak atau wanita korban kekerasan dibutuhkan keterampilan agar korban merasa nyaman dan terbuka. Penggalian korban perkosaan pada anak yang masih sangat belia dapat digunakan alat bantu boneka (Probowati, 2005).



Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi. Pada kasus di Malang ketika seorang ibu yang membunuh 4 anaknya dan ia bunuh diri. Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi adalah merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.



Pada saksi. Proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi trehadap saksi, karena baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90 % terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. Diperlukan teknik investigasi saksi yang tepat a.l: teknik hipnosis dan wawancara kognitif.



Teknik hipnosis digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti atau pada Saksi/korban yang emosional (malu, marah) dan menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali.



Wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi.



Pengadilan



Peran psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat sebagai saksi ahli, bagi korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anakseperti perkosaan,dan penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (misal Mental retarded, pedophilia, dan psikopat).



Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukuman yang berat.



Lembaga Pemasyarakatan



Psikolog sangat dibutuhkan di Lapas. Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana maupun petugas lapas. Misal pada kasus percobaan bunuh diri narapidana tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka seringkali memberikan hukuman dengan tujuan dapat mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Psikolog forensik dibutuhkan dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.



Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum.



Misalnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku kriminal. Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif. Pada penanganan pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan.



Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan kemampuan psikologi sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang sudah terlibat sebagai psikolog forensik, namun tidak adanya standar yang jelas membuat psikolog yang terjun di kegiatan forensik menjalankan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing.



Hal ini berdampak pada penilaian pelaku hukum dan masyarakat yang menjadi bingung dan tidak memahami kinerja psikolog forensik yang beragam. Untuk itulah dibutuhkan suatu asosiasi yang menjadi perekat bagi psikolog yang berminat pada psikologi forensik. HIMPSI sudah membuat asosiasi itu yaitu APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia)



Ditulis dalam kategori Dokumen, Penelitian



http://himpsijaya.org/2008/05/15/psikologi-forensik/






Read More...

Dua Pelayanan Publik Pemasyarakatan

21 Mei 2008

Jakarta, hukumham.info- Pada hakekatnya, secara sosiologis Pemasyarakatan menyelenggarakan pelayanan publik dalam dua tataran, yaitu pelayanan secara makro dan pelayanan secara mikro.



Pelayanan makro adalah pelayanan yang dilaksanakan Pemasyarakatan sehubungan dengan tugas dan fungsinya dalam rangka pembinaan para pelanggar hukum.



Ketika pelanggaran yang dilakukan seseorang berada dalam kualitas yang tidak bisa ditolerir oleh rasa keadilan masyarakat, maka negara (dalam hal ini Pemasyarakatan) mengambil alih peran pembinaannya, agar yang bersangkutan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.



Sedangkan, pelayanan Pemasyarakatan dalam skala mikro, adalah pelayanan Pemasyarakatan terhadap hak-hak pelanggar hukum yang dijamin oleh undang-undang, misalnya hak berkunjung, hak perawatan jasmani, hak mendapat pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan sebagainya.



Jika dikaitkan dengan survei KPK, pelayanan dalam skala mikrolah yang menjadi fokus penelitian, dan kualitasnya ditempatkan dalam 10 instansi yang terendah integritasnya dalam pelayanan kepada masyarakat.



Jika hasil penelitian tersebut benar dan dapat dipercaya, setidaknya-tidaknya di lokasi penelitian (se-Jabodetabek), maka hal itu merupakan isyarat, bahwa Pemasyarakatan harus terus menerus melakukan perubahan, antara lain melalui kegiatan Bulan Tertib Pemasyarakatan.



“Hal ini sangat penting, kerena fungsi pelayanan dalam tingkat makro, keberhasilannya akan sangat tergantung kepada kinerja pelayanan dalam tingkat mikro,” jelas Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta di Jakarta (28/04).



Menurutnya, di masa mendatang akan semakin dituntut petugas-petugas Pemasyarakatan yang handal, memiliki kompetensi yang dicirikan dengan kemampuan dan pengetahuan teknis, kematangan intelektual serta integritas moral yang tinggi sebagai pejabat fungsional penegak hukum.



“Untuk itulah ia (petugas pemasyarakatan) harus memiliki idealisme yang tinggi, mampu mengembangkan diri untuk dapat melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab,” ujar Andi.



Peringatan se-abad Kebangkitan Nasional adalah merupakan momentum yang tepat bagi segenap unsur pemasyarakatan untuk membenahi diri dan bangkit. “Makna mendalam dari peringatan-peringatan ini dapat dijadikan motivasi serta semangat bagi Petugas Pemasyarakatan dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya,” ujar Andi.





http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=914&Itemid=43


Read More...

Lapas Percontohan untuk Tiap Provinsi

19 Mei 2008

Jakarta, hukumham.info—Setelah mencanangkan bimbingan pengembangan sistem manajeman pelayanan ISO 9001:2000 di Lapas Kelas II A Wanita Malang (29/02), saat ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) merencanakan program lapas ideal untuk dijadikan percontohan di setiap provinsi.



Sejak digulirkannya program Bulan Tertib Pemasyakatan pada 14 Februari 2008 oleh Menteri Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) terus melakukan inovasi-inovasi dalam kinerjanya.



”Pak Dirjen (Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono) merencanakan lapas ideal untuk dijadikan percontohan,” ujar Direktur Bina Registrasi dan Statistik M. Sueb di Gedung Depkumham Jakarta (14/05).



Menurut Sueb, nantinya di setiap provinsi akan ada sebuah lapas ideal. Lapas ideal ini akan dijadikan percontohan bagi lapas-lapas lain yang ada di dalam provinsi tersebut.



Sueb melihat, masalah overkapasitas atau kelebihan jumlah narapidana/ tahanan adalah biang dari permasalahan yang dihadapi lapas/rutan di Indonesia. Saat ini jumlah narapidana/tahanan sekitar 140 ribu, sedangkan daya tampung lapas/rutan hanya sekitar 80 ribu orang.



”Over kapasitas yang mengakibatkan kualitas pelayanan dan pembinaan tidak optimal. Selain itu, juga mengakibatkan tingginya gangguan kamtib (keamanan dan ketertiban) di lapas/rutan,” kata Sueb.



Program utama untuk menanggulangi masalah kelebihan kapasitas lapas/rutan adalah meningkatkan kapasitas hunian dengan membangun lapas/rutan baru dan menambah blok hunian. Peningkatan kapasitas hunian ini diiringi dengan mengurangi jumlah narapidana melalui pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.



Dengan program percepatan pembinaan melalui remisi, pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti bersyarat (CB), telah dibebaskan sebanyak 13 ribu narapidana pada 2007.



Sementara pada caturwulan pertama tahun 2008 telah dibebaskan sebanyak 5.647 orang. “Target pengurangan penghuni melalui PB, CMB, dan CB tahun ini (2008) sebesar 15 ribu orang,” papar Sueb.



Saat ini, Ditjen Pas sedang melakukan pembangun 11 unit lapas/rutan baru. Untuk mengurangi kelebihan penghuni di sebuah lapas, Ditjen Pas juga telah melakukan pemindahan sebanyak 1.060 narapidana dari lapas yang kelebihan kapasitas ke lapas yang relatif masih belum padat. Pemindahan ini dilakukan untuk pemerataan jumlah penghuni lapas.



Selain itu, Ditjen Pas juga telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Salah satunya, perjanjian kerjasama dengan PT Telkom untuk pemenuhan sarana telekomunikasi (pembuatan wartel khusus di lapas/rutan) dan pelayanan akses pengaduan pelayanan publik melalui pesan singkat (SMS).



Ditjen Pas juga melakukan kerjasama dengan Asia Foundation (salah satunya pengembangan data elektronik narapidana/tahanan yang ada di lapas/rutan), dan dengan Raoul Wahlenberg Institute (Sebuah Lembaga Independen dari Swedia yang peduli terhadap masalan HAM).





http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=910&Itemid=43





Read More...

Empat Tahun Mendatang Komposisi Lapas/Rutan Seimbang

29 April 2008

Tangerang, hukumham.info- Salah satu masalah pelik yang dihadapi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) adalah kelebihan kapasitas atau tidak seimbangnya jumlah narapidana/tahanan dengan daya tampung lapas/rutan. Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) menargetkan dalam empat tahun ke depan komposisi antara jumlah lapas/rutan dengan narapidana dan tahanan seimbang.



Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata mengemukakan, dengan terus meningkatkan kapasitas huni lapas/rutan, proses percepatan pembinaan narapidana untuk memperoleh haknya dan diiringi dengan tidak meningkatnya secara signifikan masalah kriminal di masyarakat, dalam empat tahun ke depan komposisi antara jumlah tahanan/narapidana dengan daya tampung lapas/rutan akan menjadi seimbang.



“Kalau semua usaha berjalan baik dan masalah kriminalitas tidak booming, tiga, empat tahun lagi menjadi seimbang (komposisi penghuni lapas/rutan dengan daya tampungnya),” ujar Andi Mattalatta di hadapan wartawan seusai memimpin Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-44 di Lapas Klas I Tangerang Banten (28/04). Hadir juga Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiono dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.



Program utama untuk menanggulangi masalah kelebihan kapasitas lapas/rutan adalah meningkatkan kapasitas hunian dengan membangun lapas/rutan baru dan menambah blok hunian. Peningkatan kapasitas hunian diiringi dengan mengurangi jumlah narapidana melalui pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat. Depkumham saat ini sedang melakukan berbagai pembangunan fisik lapas/rutan sehingga komposisi antara jumlah narapidana/tahanan dengan lapas/rutan bisa menjadi seimbang.



Andi mengatakan, kelebihan kapasitas yang dialami lapas/rutan menjadi penyebab tidak optimalnya proses pembinaan kepada para narapidana. Saat ini jumlah narapidana/tahanan sekitar 140 ribu, sedangkan daya tampung lapas/rutan hanya sekitar 80 ribu orang.



Dengan program percepatan pembinaan (remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat), telah dibebaskan sebanyak 13 ribu narapidana (tahun 2007). Pada triwulan tahun 2008 telah dibebaskan sebanyak 4.000 narapidana.



Salah satu program andalan pemasyarakatan untuk meningkatkan kinerjanya adalah Bulan Tertib Pemasyarakatan (buterpas) yang dicanangkan Andi Mattalatta pada 14 Februari 2008 lalu di Rutan Salemba Jakarta. Salah satu programnya adalah pengoptimalan pembinaan, sehingga bisa mempercepat proses pembinaan narapidana di dalam lapas.



Menurut Andi, narapidana yang dalam proses pembinaannya bagus dan menunjukkan perubahan sikap yang signifikan bisa mendapat pengurangan masa hukuman. “Harus ada program-program cerdas lain. Salah satunya meningkatkan pembinaan kepada narapidana,” kata Andi.



Walaupun dengan keterbatasan, terutama anggaran, Departemen Hukum dan HAM dan Direktorat Pemasyarakatan terus menggulirkan kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kinerja dan perbaikan kualitas pelayanan, di antaranya pembangunan fisik dan percepatan proses pembinaan narapidana melalui mekanisme remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.



Sementara itu Gubernur Banten Ratu Atut mengatakan, Provinsi Banten dalam waktu dekat juga akan membangun lapas yang mempunyai daya tampung 5.000 orang. Jumlah total narapidana dan tahanan di Banten saat ini adalah 8.000 dengan daya tampung lapas/rutan hanya 2.700 orang yang tersebar di enam lapas dan empat rutan.



http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=874&Itemid=43





Read More...