Sistem pemasyarakatan Indonesia belum tersentuh semangat reformasi dan kebangkitan nasional

13 Juni 2008

Ghali Zakaria (06/06/2008 - 03:36 WIB)





Jurnalnet.com (Jakarta): Beberapa waktu lalu kita sebagai bangsa Indonesia merayakan momentum bersejarah sepuluh tahun Reformasi dan se-Abad Kebangkitan Nasional. Pada dasarnya reformasi dan kebangkitan nasional merupakan bentuk perwujudan kepedulian rakyat Indonesia terhadap kemiskinan, pendidikan, degradasi moral, Interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa lain dan masalah-masalah lain yang dihadapi negara yang tercinta ini menuju kesejahteraan sosial dan integrasi nasional yang mapan.



Mungkin yang terlupakan dalam semangat reformasi dan kebangkitan nasional adalah pembenahan di sektor sistem pemasyarakatan Indonesia. Apabila masalah yang terlupakan ini dibiarkan terus-menerus hampir dipastikan semangat cita-cita bangsa Indonesia tidak akan sempurna.



Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah selaku pembuat keputusan selama ini terhadap permasalahan di dalam sistem pemasyarakatan Indonesia belum terasa efeknya secara positif. Sebenarnya, pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia bukan hanya memiliki efek jera terhadap pelaku kejahatan melainkan melihat kegunaan efek penghukuman tersebut sebagai hukuman itu sebagai kontrol sosial yang mempunyai dasar mencegah kejahatan yang diperbuat tidak terulang kembali, sebagai penopang moral masyarakat yang taat pada hukum, dan memberi bekal hidup kepada pelaku tindak kejahatan.



Hal ini termaktub dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan, bahwa Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.



Secara normatif memang seperti itu tapi dalam implementasinya sangat jauh dari keberhasilan bila dilihat permasalahan-permasalahan pelik yang dihadapi sistem permasyarakatan Indonesia dengan serangkaian kebijakan pemerintah.



Kelebihan Kapasitas



Lebih besar pemasukan daripada pengeluaran itu menggambarkan kondisi penjara ini. Sebagian besar lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia over kapasitas. Kelebihan kapasitas ini kalau dirunut lebih jauh memiliki efek domino terhadap permasalahan yang muncul kepermukaan sehingga kebijakan yang diberikan pihak lembaga permasyarakatan kurang maksimal.



Berdasarkan data dari Departemen Hukum dan HAM jumlah penghuni dengan Rumah Tahanan dan Lembaga pemasyarakatan dari tahun ke tahun mengalami lonjakan yang signifikan misalnya tahun 2003 jumlah tahanan dan narapidana 71.587 orang dengan kapasitas hunian 64.345 orang, tahun 2004 jumlah tahanan dan narapidana 86.450 orang dengan kapasitas 66.891 orang, tahun 2005 jumlah tahanan dan narapidana 97.671 orang dengan kapasitas hunian 68.141 orang.



Sedangkan data yang terakhir pada tanggal 17 agustus 2006 jumlah tahanan dan narapidana diseluruh Indonesia berjumlah 116.668 orang dengan kapasitas hunian 70.241 orang. Pelonjakan angka-angka ini tidak cukup “mengagetkan” apabila dilihat dari kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah.



Bentuk-bentuk kebijakan yang dapat menimbulkan permasalahan akibat dari kelebihan kapasitas ini.



Pertama, kebijakan kesehatan kurang maksimal sehingga hak dasar kesehatan narapidana tidak terpenuhi. Dengan demikian, keterbatasan anggaran dan penghuni lembaga pemasyarakatan yang merupakan masalah klasik menjadi permasalahan utama dalam menambah keterpurukan lembaga pemasyarakatan.



Kedua, kebijakan terhadap pelaku tawuran didalam penjara. Dalam hal ini, pihak lembaga hanya bersifat reaktif dalam melihat tawuran di dalam penjara tanpa melihat kebijakan pencegahan tawuran tersebut ketika sudah terjadinya tawuran barulah pihak dari lapas mencari sebab-musabab tawuran dan melakukan razia sejata tajam di lembaga permasyarakatan. Kasus ini sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan pengawasan yang ketat dan tingkat kewaspadaan terhadap pola tingkah laku narapidana.



Ketiga, penjara menjadi sekolah kejahatan. Dalam kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, pihak lembaga melupakan pemilahan antara residivis dengan first offender atau orang yang melakukan kejahatan untuk pertama kalinya. Menurut Sutherland yang merupakan tokoh kriminolog paradigma positivis dalam teori Differential Association ditekankan bahwa penentu kejahatan terletak dalam hubungan pelaku dengan lingkungan dimana ia melakukan interaksi sosial sehingga dapat menghasilkan kejahatan.



Dalam hal interaksi sosial seseorang belajar apa yang terjadi di lingkungannya. Demikian juga halnya, jika tidak difokuskan pemilahan antara residivis dengan first offender hampir dipastikan keduanya berinteraksi sehingga adanya proses pembelajaran untuk melakukan kejahatan kembali.



Re-integrasi sosial



Dalam rangka mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi tenaga yang terampil, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit, pendidikan, dan lain-lain.



Dalam menjalani hukuman ini diharapkan narapidana dapat interaksi sosial yang harmonis antara ex-napi dengan masyarakat setelah mereka bebas. Hal ini didukung prinsip-prinsip pemasyarakatan sebagai dasar pembinaan dari Sistem Pemasyarakatan adalah sepuluh prinsip Pemasyarakatan yaitu:



1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.



2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.



3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.



4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.



5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.



6. Pekerjaan yang dibenikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.



7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.



8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah juga manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.



9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya.



10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana dengan fungsi-fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem Pemasyarakatan.





Permasalahan utamanya adalah narapidana sudah mendapat stigma buruk dari masyarakat sehingga sering muncul bahwa narapidana itu sampah masyarakat dan pemerintah sendiri kurang adanya sosialisasi pemahaman makna narapidana itu sendiri. Padahal dalam pembinaan narapidana dalam memberikan keterampilan, harmonisasi pola hubungan antara pihak narapidana dengan pihak pemerintah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembinaan narapidana dalam memberikan keterampilan di lembaga permasyarakatan, selain dukungaan penuh dari komponen-komponen pendukung seperti masyarakat dan pihak lembaga pemasyarakatan itu sendiri.



Selain itu sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Pemerintah mempunyai tujuan meningkatkan kesadaran bersama. Pola pembinaan keterampilan narapidana akan eksistensinya sebagai manusia melalui tahap perenungan akan ego, motivasi ideal secara kolektif dan kesadaran indvidu yang didukung kesadaran kolektif. Hal tersebut belum menampakkan secara kongkret adanya keterampilan narapidana di lembaga permasyarakatan disebabkan oleh kebijakan strategis pemerintah terhadap fokus terhadap anggaran untuk keterampilan narapidana sangat minim.



Pidana Alternatif



Jika melihat perkembangan penologi saat ini sudah ada pemikiran bahwa melakukan penghukuman tidak harus di dalam lembaga permasyarakatan. Akan tetapi penghukumannya di dalam masyarakat itu sendiri sehingga muncul pidana alternatif dengan cara bekerja sosial atau membayar denda dengan sejumlah uang tertentu kepada Negara.



Hal ini lebih cocok apabila ada koridor yang jelas dalam menjalankan pidana alternatif ini. Pemberlakuan pidana alternatif hanya untuk tindak pidana ringan dan idealnya diberikan kepada kategori anak dan seseorang yang baru melakukan kejahatan agar menjadi pembelajaran yang berguna bagi dirinya dan masyarakat secara langsung dapat manfaatnya.



Dengan demikian, konsep pembangungan sistem pemasyarakatan Indonesia tidak terlepas dari pemerintah selaku pembuat kebijakan dalam implementasinya selalu terbentur elemen-elemen yang berada didalamnya. Dalam rangka momentum semangat Hari Bhakti, Reformasi, dan Kebangkitan Nasional. Akankah hal ini mengurangi semangat kita untuk melakukan pembenahan disegala sektor kemanusiaan termasuk sistem pemasyarakatan Indonesia. Merdeka.***



*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Indonesia, Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Anggota Aktif MAPALA UI.



http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=KolomFeature



Rock It!

0 komentar:

Posting Komentar