PROFESIONALISME UNTUK MENGANGKAT CITRA ORGANISASI

24 Maret 2008

Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Drs. Untung Sugiyono, Bc.IP,MM



Kehidupan di dunia lembaga pemasyarakatan (lapas) tidak lepas dari berbagai sorotan masyarakat. Ada kalanya sorotan itu bersifat positif namun acapkali bahkan seringkali merupakan hal bersifat negatif. Masalah pelarian narapidana, prosedur penjengukan napi, kematian napi hingga pemberian remisi yang terkesan diskriminasi, merupakan beberapa permasalahan yang sering dihadapi Departemen Hukum dan HAM khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.



Menanggapi keadaan tersebut Tim Redaksi Hukum dan HAM mengadakan wawancara dengan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Drs. Untung Sugiyono, memintakan pendapatnya di seputar dunia lapas yang sangat pelik permasalahan dan pengelolaan.





Profesionalisme

Sikap profesionalisme, itulah ucapan pertama yang didengungkan Untung Sugiyono saat ditanya mengenai semangat yang harus dibina untuk mengangkat citra organisasi dalam hal ini lembaga pemasyarakatan. “Pandangan-pandangan saya, profesionalisme itu sebetulnya dapat mengangkat citra dari instansi dimata masyarakat luas”, tuturnya. Semangat kerja profesionalisme dapat menjadi panduan arah dan tujuan yang akan dituju oleh suatu organisasi, karena semua langkah kerja harus dipikirkan masak-masak sehingga satu sama lain saling mendukung mencapai sasaran dan tujuan organisasi yang diharapkan.



Pada akhirnya citra nama besar sebuah organisasi menjadi lebih harum di dunia luar.

Sikap profesionalisme menurut Untung, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya Pertama dimulai sejak awal perekrutan. Rekrutmen harus disesuaikan dengan kebutuhan organisasi, terutama dari segi tingkat pengetahuan dan pendidikan calon pegawai. “Jadi untuk mendapat pegawai yang diharapkan, maka pengetahuan yang diperlukan harus sesuai dengan kebutuhan organisasi tersebut”, ujar suami dari Sinarsih ini.



Kemudian sebelum menjadi pegawai harus dibekali pengetahuan atau paling tidak orientasi mengenal kehidupan organisasi yang akan dimasukinya. Kedua, selain kemampuan dasar yang telah dimiliki. Sepanjang karirnya juga harus diisi dengan pendidikan-pendidikan. Menciptakan profesional harus dengan pendidikan dan latihan. Sepanjang karirnya juga harus diisi dengan pendidikan. “Manakala pendidikan dan latihan kurang, hanya mengandalkan pengalaman itu saja masih kurang”, lanjutnya.



Tugas di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tanahan (rutan) memang memerlukan kekhususan yang berbeda dengan Pegawai Negeri Sipil biasa. Hal itu mengingat tugas penuh resiko karena bidangnya menjaga orang yang senantiasa penuh tekanan-tekanan dan tempatnya terbatas. Dia tidak bisa bebas bergerak, tidak bebas berhubungan dengan keluarganya.



Untuk itu diperlukan ketrampilan dan kemampuan yang “lebih”. Sebagaimana fungsi lembaga pemasyarakatan, tidak lagi semata-mata untuk menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan tetapi lebih kepada upaya pemasyarakatan terpidana. Artinya tempat terpidana sungguh-sungguh dipersiapkan dengan baik agar kelak setelah masa hukumannya selesai akan kembali ke masyarakat dengan keterampilan tertentu yang sudah dilatih di Lapas, papar Untung Sugiyono bersemangat.



Ini ada dua kepentingan, disatu sisi ingin mengurangi tingkat tekanan tadi sisi lain petugas harus menghadapi dia, itukan harus mempunyai pengetahuan khusus, tutur ayah 1 putri 2 putra (Diah Noviarsih S, Himawan Juniansyah S, dan Arief Febriansyah S) ini. Diperlukan adanya rasa kesabaran dan ketelatenan untuk membina komunikasi dan menghadapi mereka sebagai sesama manusia. Karena bagaimanapun niat pemasyarakatan adalah untuk membina dan mengembalikan mereka (narapidana yang disebut warga binaan) kembali diterima ditengah-tengah masyarakatnya.



Lebih jauh lagi agar tidak lagi mengulangi perbuatan merugikan orang lain.

Saat ini dengan semakin berkembangnya zaman maka semakin berkembang pula produk perundangan untuk mengawal jalannya pembangunan. Keadaan itu juga berdampak pada beragamnya tindakan yang bisa dipidanakan. Dalam pelaksanaan pidana ini, kita bersumber pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946, yang telah dikuatkan dengan UU No 73/1958 yang dikenal dengan nama "Wetboek van Straftrecht".



Sejak tahun 1946 telah menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP serta telah mengalami perubahan dan pengembangan sesuai dengan dinamika pembangunan hukum.

Produk hukum baru telah membawa implikasi luas bagi mereka yang terkena pidana dan harus menjalankan hukuman penjara. Lapas yang tadinya disebut penjara tidak saja dihuni oleh pencuri, perampok, penipu, pembunuh, atau pemerkosa, tetapi juga ditempati oleh pemakai, kurir, pengedar dan bandar narkoba bahkan penjudi dan bandar judi.



Selain itu, dengan intensifnya penegakan hukum pemberantasan KKN dan white collar crime lainnya, penghuni lapas dan rutan menjadi semakin beragam. Lapas saat ini dihuni oleh antara lain mantan pejabat negara, direksi bank, intelektual, profesional, bankir, pengusaha, yang mempunyai profesionalisme dan kompetensi yang tinggi. Penghuni lapas menjadi sangat bervariatif, baik dari sisi usia maupun panjangnya hukuman dari hanya tiga bulan sampai hukuman seumur hidup dan hukuman mati.



Spektrum penghuni lapas yang sangat luas, baik dari kejahatan, latar belakang, profesionalisme, usia, maupun lamanya hukuman, menyebabkan pengelolaan lapas pun menjadi sangat kompleks dan memerlukan penyesuaian ataupun perubahan. Seperti juga dikatakan mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, bahwa seiring dengan perkembangan dan variatifnya penghuni lapas maka para penjaga pun perlu penyesuaian diri terutama pada tingkat pendidikannya yang paling tidak seimbang.



Hingga tidak mengherankan apabila sipir penjara pun diperlukan yang berpendidikan S2. Tujuannya agar sipir sebagai penjaga tidak dapat dimanfaatkan oleh penghuni yang dari segi tingkat pendidikannya jauh lebih tinggi.



Pemikiran memberikan pelatihan, pendidikan serta dan adaptasi dengan jaman sudah ada semenjak dulu. Seperti dikatakan Untung Sugiyono, “Kira-kira tahun 70-an ada yang disebut Pendidikan Dasar Penjaraan. Jadi begitu direkrut calon pegawai itu dididik dulu. Kemudian dalam perjalanannya dia bisa saja dididik lagi ke tingkat yang lebih tinggi hingga akhirnya menjadi calon pimpinan.



Demikian terus berjenjang sehingga pegawai bisa memacu semangat belajar dan bekerja agar lebih baik dan lebih baik lagi karena terdapat goal yang akan dicapai, hingga ke Strata 2. Sekarang ini pendidikan sudah dibentuk menjadi sebuah akademi, Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP), lanjut pria yang mengawali karir tahun 1976 di Lapas Tanjung Karang, Lampung..



Tahun ini sedang dirintis untuk memberikan pelatihan kepada kurang lebih 3000 pegawai baru yang direkrut tahun 2007 ini untuk dididik dan dilatih kesamaptaan. Walaupun sebetulnya waktunya kurang cukup, hanya 2 minggu dari idealnya yang paling tidak antara 1 sampai 2 bulan, tapi bersyukur sudah ada terobosan dan ada kesempatan untuk mendidik dan membekali pegawai baru mengenal keadaan lapas dan rutan sedini mungkin.



Mudah-mudahan kedepan bisa lebih dioptimalkan, sehingga pegawai sudah memiliki bekal yang cukup menangani permasalahan-permasalahan selama berjaga di lapas/ rutan.



Overcapasity

Masalah over capasity menjadi masalah utama bagi lapas dan rutan di kota-kota besar. Hal ini sebagai dampak dari tingkat kejahatan yang semakin beragam. Disamping itu semakin padatnya penduduk dan semakin banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi, semua orang berusaha untuk dapat memenuhi semua kebutuhannya. Bagi yang dapat menempuh cara yang benar maka dapat memenuhinya dengan cara yang benar.



Sedangkan bagi mereka yang lebih memilih jalan pintas maka hal inilah yang menyebabkan tingginya angka tingkat kriminalitas dengan variasi yang beragam. Akibatnya jumlah pelanggar hukum yang dikirim ke lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan menjadi semakin banyak. Hal itu menimbulkan tidak seimbangnya antara jumlah penjaga (sipir) dengan yang dijaga.



Selain itu, peralatan keamanan dibeberapa tempat tertentu masih minim.

Kelebihan penghuni (over capasity) dialami lapas-lapas dan rutan-rutan terutama yang berada di kota-kota besar menimbulkan dampak yang merugikan, baik itu dari segi sanitasi, keamanan, kenyamanan hingga tingkat kerawanan diantara sesama penghuni, katanya. Begitu rumitnya menangani sebuah lapas/ rutan yang begitu kompleks dengan permasalahan, namun demikian padangan negatif selalu saja disandangnya.



Bila terjadi pelarian satu orang saja maka beritanya dengan cepat menyebar, namun demikian orang tidak melihat bahwa masih ratusan bahkan ribuan warga binaan masih tetap berada di dalam lapas/rutan tanpa berbuat keonaran bahkan mendapat pendidikan, pelatihan sesuai dengan yang ada di lapas/rutan.



Solusi

Untuk menangani over kapasitas ini harus dicari cara yang tepat dan sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki lembaga pemasyarakatan. Seperti disampaikan Dirjen Pemasyarakatan, beberapa solusi diantaranya :



pertama membangun lapas/rutan baru. Penambahan ruang hunian dan blok baru dilakukan dengan berbagai alternatif, bagi lapas yang masih punya tanah cukup didalam bisa dibangun blok-blok baru disitu. Tapi bagi lapas yang tanahnya sudah habis itu bisa membangun ke atas. Alternatif terakhir membangun lapas/rutan baru di wilayah-wilayah pemekaran.



Kedua, melakukan pemerataan penghuni, dari tempat yang padat dipindahan ketempat yang masih lega. Ketiga optimalisasi pemberian hak-hak agar bisa keluar cepat dari penahanannya diatur dalam undang-undang, yaitu dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Hak-hak itu meliputi Remisi, Asimilasi atau Pelepasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) untuk mendorong orang agar cepat bebas tapi tidak mengurangi nilai-nilai pembinaan yang ada.



Berkaitan dengan remisi atau pengurangan masa hukuman, sekarang sedang diajukan jenis remisi baru disamping Remisi Umum, Remisi Khusus setiap hari raya keagamaan dan Remisi Dasa Warsa. Jenis remisi tersebut diantaranya Remisi Manula, Remisi Wanita dan Remisi bagi Anak-anak yang diberikan sesuai dengan harinya, sebagaimana disampaikan Menteri Hukum dan HAM terdahulu.



Mengurangi over kapasitas teorinya kan bagaimana orang tidak banyak masuk lapas, juga bagaimana orang yang di lapas jangan terlalu lama, idealnya tidak terlalu mudah memasukkan orang kedalam lapas, ujar alumni Akademi Ilmu Pemasyarakatan Angkatan IX ini. Teori tersebut memunculkan adanya pidana alternatif sebagaimana yang dilontarkan mantan Menkumham Hamid Awaludin untuk memberikan pidana berupa kerja sosial.



Usulan itu bisa merupakan hal positif namun demikian masih belum bisa diterapkan di negeri ini, artinya diperlukan pembuatan aturan-aturan baru yang bisa mengakomodasi pidana alternatif tersebut.



Berbicara mengenai Gerakan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan Peredaran Gelap Nakotika (P4GN), Untung mengatakan bahwa “kerjasama dengan pihak luar memang perlu dilakukan dan sudah banyak yang dikerjakan”. Dibidang pencegahan maraknya peredaran narkotika didalam lapas/rutan dibentuk satgas yang terdiri dari petugas pemasyarakatan dan petugas dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian.



Fungsinya untuk melakukan penggeledahan di lapas/ rutan di seluruh Indonesia, tentunya dengan skala prioritas dan tingkat kepentingan yang dikoordinasikan terlebih dahulu. Kemudian dibidang terapi dan rehabilitasi, BNN membantu memberikan beberapa tenaga medis seperti dokter, perawat, paramedis dan obat-obatan. Terakhir ini kita diberi kesempatan bagi warga binaan yang mau bebas terlebih dahulu diberikan pendidikan, pembinaan dan pengobatan di Panti Rehabilitasi di Lido.



Demikian saat warga binaan kasus narkotika tersebut menerima Pembebasan Bersyaratnya sudah dinyatakan bersih dari pengaruh narkotika.



Kesan pribadi selama sekitar 30 tahun berdinas di Departemen Hukum dan HAM, mengatakan bahwa semua sangat berkesan dan saya sangat menikmati tugas selama masa kerjanya. “Semua berkesan, saya senang ditempatkan dimana-mana”, ujarnya. Bahkan saking lamanya (14 tahun) di tempatkan di Lampung, sampai-sampai banyak kenalan yang hubungannya seperti layaknya saudara, artinya Lampung itu ibarat sebagai kampung saya kedua, kenang pria kelahiran Cilacap Jawa Tengah ini.



Diakhir perbincangan terungkap salah satu pengalaman yang baginya sangat berkesan, yaitu selama menjadi Kepala Kantor Wilayah di Sumatera Utara. “Barangkali Kakanwil yang paling rajin kunjungi Unit Pelaksana Teknis (UPT) itu saya”, tuturnya sambil tertawa. “Saya berusaha mendekati bawahan dengan terjun langsung ke bawah, kan dalam membina kita harus memberikan contoh bagaimana cara melakukan sesuatu dengan cara yang benar”, lanjutnya mantap.



Profil :



Nama : Drs. Untung Sugiyono, Bc.IP,MM

Pangkat/Gol : Pembina Utama Madya (IV/d)

Tempat/ tgl lahir : Cilacap, 8 September 1951.

Riwayat pekerjaan :

1. Pertama dinas di Lapas Tanjung Karang tahun1976.

2. Kasi Binadik Lapas Klas IIA Tanjung Karang tahun 1982,

3. Kasi kegiatan Kerja Lapas Klas IIA Tanjung Karang tahun 1986,

4. Kepala Pengamanan Lapas di Lapas Klas I Tangerang tahun 1990.

5. Kabag Pengamanan di Sekretariat Jenderal tahun 1992,

6. Kepala Lapas Klas IIA Karawang tahun 1996,

7. Kepala Lapas Klas IIA Tanjung Karang tahun 1999,

8. Kepala Lapas Klas I Palembang tahun 2001

9. Kepala Lapas Klas I Surabaya tahun 2002,

10. Direktur Bina Keamanan dan Ketertiban tahun 2003,

11. Direktur Bina Khusus Narkotika Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2004,

12. Kepala Kantor Wilayah Depkumahm Sumatera Utara tahun 2005,

13. Kepala Kantor Wilayah Depkumham Jawa Tengah tahun 2007,

14. Direktur Jenderal Pemasyarakatan tahun 2007 sampai sekarang.



Editor: eny/dudy



http://majalah.depkumham.go.id/node/115

Read More...

Lapas/Rutan sebagai Tempat Belajar

16 Maret 2008

Jakarta, hukumham.info-- Lembaga permasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) merupakan tempat belajar, bukan tempat menghukum. Pendekatan yang digunakan pun diubah, dari pendekatan keamanan ke pendekatan pembinaan.



Andi Mattalatta, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), menyampaikan pesan ini dalam pidato sekaligus membuka "Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) dan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) antar Narapidana (Napi) se-Jawa Barat" di Lapas Karawang (15/03). Dalam pidato pembukaan ini, Andi juga menyampaikan pentingnya sinergisitas antara petugas, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan masyarakat untuk mewujudkan proses belajar di lapas dan rutan.



Pentingnya peran masyarakat juga disinggung oleh Andi. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting untuk mempersiapkan penerimaan WBP yang telah selesai menjalani masa pidananya. Ini terbukti dengan adanya cuti menjelang bebas, lapas terbuka, dan sebagainya. "Jika masyarakat tidak dipersiapkan untuk menerima mereka, maka pembinaan menjadi sia-sia," kata Andi.



Untuk itu, Andi menghimbau kepada semua pihak agar memiliki komitmen yang kuat untuk bersinergi membantu proses pembinaan WBP. "Upaya pembinaan ini tidak akan mencapai hasil yang optimal bila tidak didasari oleh komitmen yang kuat oleh semua pihak dan tindakan konkret atas komitmen itu," ungkap Andi.



Sebagai tempat belajar, lapas dan rutan bukan hanya sebagai tempat bagi WBP untuk menyadari kesalahan dan belajar memperbaiki diri sendiri. Namun, juga tempat belajar dalam arti sesungguhnya. "Latihan keterampilan kerja, Program Kejar Paket A, pesantren lapas/rutan, sampai pendidikan formal adalah salah satu contoh lapas dan rutan sebagai tempat belajar sesungguhnya."***



http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=756&Itemid=43





Read More...