Dirjen PAS Luncurkan Buku Program Metadone

10 Desember 2007

Jakarta, hukumham.info—Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Untung Sugiyono meluncurkan buku ”Pedoman Pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di Lapas dan Rutan” di Hotel Millenium, Jakarta (6/11).

Pada saat peluncuran juga digelar seminar mengenai PTRM di Lapas/Rutan sebagai salah satu upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS dengan menghadirkan pembicara dari Direktorat Pemasyarakatan (Ditjen PAS), Komisi Penanggulan AIDS Nasional, Departemen Kesehatan dan dari Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHCP).

PTRM merupakan salah satu bentuk program dengan pendekatan pengurangan dampak buruk yang bertujuan meningkatkan kesehatan pengguna narkoba (heroin) suntik (penasun) sehingga para penasun dapat beraktivitas secara normal dan produktif, sehingga dapat menekan tingkat kriminalitas. Salah satu bentuk penanggulangan dampak buruk dari penularan narkotika suntik (harm reduction) adalah terapi subsitusi dengan metadon dalam sediaan cair, dengan cara diminum.

Metadon biasanya disediakan pada program penggantian heroin yang dipakai pecandu dengan obat lain yang lebih aman dengan cara diminum berupa opiat (narkotik) sintesis yang kuat seperti heroin, tetapi tidak menimbulkan efek sedatif (obat penenang) yang kuat.

Program ini sudah terlaksana dengan baik di tiga Lapas/Rutan (Lapas Klas IIA Krobokan Denpasar, Lapas Klas IIA Narkotika Cipinang DKI Jakarta, Rutan Klas I Pondok Bambu, Jakarta Timur). Namun dalam pelaksanaannya, belum ada pedoman baku secara nasional yang akan menjadi acuan PTRM di Lapas/Rutan.

Untung Sugiyono mengatakan terbitnya buku ini menunjukkan Depkumham melalui Ditjen PAS berupaya keras untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba dan HIV/AIDS di Lapas/Rutan melalui upaya yang komprehensif dan menyeluruh. ”Buku ini merupakan petunjuk teknis bagi petugas dalam memberikan pelayanan PTRM,” ujar Untung. Ia juga mengharapkan dengan buku ini semua pihak yang tergabung dalam Tim PTRM dapat meningkatkan akselerasi kerja secara lebih sistematis dan komprehensif dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba dan HIV/AIDS.

Hal senada diucapkan Irsyad Bustaman, Direktur Bina Khusus Narkotika, Ditjen PAS dan Nafsah Mboi, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Irsyad mengatakan sejalan dengan peningkatan jumlah narapidana dan tahanan kasus narkoba, khususnya yang berlatar pengguna narkoba jenis heroin yang menggunakan jarum suntik (penasun) berdampak pula pada peningkatan angka penularan penyakit seperti hepatitis dan HIV/AIDS. ”Untuk itu, perlu buku pedoman untuk dapat melaksanakan PTRM secara berkesinambungan,” ujarnya.

Sedangkan Nafsiah mengharapkan dengan terbinya buku ini semakin mendorong perluasan layanan, peningkatkan cakupan dan kualitas layanan PTRM di Lapas/Rutan untuk menghindari infeksi HIV serta memberi pelayanan bagi yang sudah terinfeksi. ”Kami memberi penghargaan kepada Depkumham untuk mengendalikan dan menurunkan laju epidemi AIDS di Lapas/Rutan,” ujarnya.


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=274&Itemid=43





Read More...

NAPI JUGA MANUSIA

09 Desember 2007

"Narapidana juga manusia," demikian ditulis dalam A Human Rights Approach to Prison Management terbitan International Center for Prison Studies. Karena narapidana juga manusia, mereka juga memiliki hak asasi manusia, seberat apa pun kejahatan yang telah mereka perbuat.

Hak asasi narapidana yang dapat dirampas hanyalah kebebasan fisik serta pembatasan hak berkumpul dengan keluarga dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan. Namun dalam kenyataannya, para narapidana tidak hanya kehilangan kebebasan fisik, tapi juga kehilangan segala hak mereka. Penyiksaan, bahkan pembunuhan, di dalam penjara dan tahanan bukan cerita langka. Hak-hak asasi mereka, baik di bidang sipil, politik, maupun ekonomi, sosial, dan budaya sering dirampas.

Sejarah menunjukkan narapidana sering mendapat perlakuan kejam dan tidak manusiawi. Karena keprihatinan atas kondisi penjara dan tahanan, 26 Juni 1987 Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan Konvensi 1948 Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam dan Perlakuan Tidak Manusiawi Lainnya. Konvensi yang lazim disingkat dengan Konvensi Antipenyiksaan ini juga diratifikasi Indonesia pada 1998.

Intinya, Konvensi Anti penyiksaan melarang penyiksaan tahanan dan narapidana, di samping menyerukan penghapusan semua bentuk hukuman yang keji dan merendahkan martabat. Dengan demikian, penyiksaan, apalagi pembunuhan, terhadap tahanan atau narapidana merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia.

Instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional juga menetapkan standar minimum bagi perlindungan hak asasi manusia narapidana dan tahanan. Standar minimum tersebut meliputi tidak boleh menyiksa ataupun menyakiti mereka dengan alasan apa pun. Untuk mencegah penyiksaan dan perbuatan menyakiti narapidana, maka penjara dan tempat-tempat tahanan harus terbuka bagi pemantau independen seperti komisi hak asasi manusia, palang merah internasional, ataupun lembaga-lembaga sw Pasal 10 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik:
"Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan tetap menghormati martabatnya sebagai manusia."

Prinsip-Prinsip Dasar Penanganan Narapidana (Prinsip I):
"Semua narapidana harus diperlakukan dengan menghormati martabat mereka dan menghargai mereka sebagai manusia."

Prinsip-Prinsip Perlindungan Semua Orang yang Berada dalam Tahahan dan Penjara (Prinsip I):
"Semua orang yang berada dalam penjara atau tahanan apa pun harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghargai martabat mereka sebagai manusia."

Deklarasi Umum HAM (Pasal 5):
"Tak seorang pun boleh disiksa atau mendapat hukuman yang keji, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat mereka."

Konvensi Antipenyiksaan (Pasal 1.1):
"Istilah ‘penyiksaan' berarti semua tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau ketakutan yang luar biasa, baik secara fisik maupun mental, yang ditujukan kepada seseorang, misalnya dalam rangka mendapat informasi dari dia atau mengenai orang lain atau pengakuan bersalah, atau sebagai hukuman atas perbuatan yang ia atau orang lain lakukan, atau yang disangkakan dia lakukan, atau untuk mengintimidasi atau memaksa dia atau orang lain, untuk alasan apa pun juga, dengan didasari berbagai bentuk diskriminasi, yang dilakukan oleh pejabat publik atau orang lain yang bertindak sebagai pejabat publik. Namun hal ini tidak meliputi luka atau penderitaan yang lahir dari, merupakan bagian, atau terjadi dalam rangka hukuman yang sah.

swadaya masyarakat.

Selain itu, prosedur pendaftaran harus benar-benar memperhatikan hak asasi narapidana dan tahanan. Semua pemenjaraan dan penahanan harus didasari dasar hukum yang kuat beserta surat perintah resmi. Semua narapidana dan tahanan harus didaftar. Tidak boleh ada tahanan "titipan". Aturan besuk tidak boleh membatasi hak narapidana dan tahanan untuk bertemu keluarga dan penasihat hukumnya. Kondisi kesehatan mereka juga harus selalu terpantau. Khusus tahanan dan narapidana asing, harus juga diberi akses untuk berhubungan dengan perwakilan negara mereka. Khusus narapidana perempuan, harus mendapat perlindungan khusus terutama berkaitan dengan pelecehan seksual oleh sipir ataupun narapidana pria.

Selain itu, instrumen hak asasi manusia juga mewajibkan pengelola penjara dan tahanan untuk memberi makanan yang cukup dan layak. Pemberian makanan yang tidak layak merupakan pelanggaran hak dasar mereka, termasuk hak melangsungkan hidup dan hak atas kesehatan. Karena itu, harus ada kesempatan bagi narapidana untuk melakukan aktivitas di halaman terbuka. Mereka juga harus diberi fasilitas kebersihan untuk toilet dan kamar mandi.

Penjara dan tempat tahanan harus memberikan ruang yang cukup. Tidak boleh terlalu sesak. Ruang tahanan yang terlalu sesak juga melanggar hak dasar narapidana. Bahkan, di Eropa, penjara harus menyediakan ruang tidur sendiri-sendiri bagi setiap penghuni.

Hak atas privasi bagi narapidana dan tahanan juga harus dijamin. Sensor terhadap surat-surat dari keluarga tidak di benarkan. Bahkan, menurut standar Eropa, narapidana dan tahanan dijamin haknya menggunakan telepon genggam. Penjara-penjara di sana harus juga menyediakan telepon umum.

Di beberapa negara, narapidana dan tahanan wajib menggunakan seragam. Namun, ada pula yang tidak mewajibkan perempuan menggunakan seragam. Kewajiban menggunakan seragam hanya dibenarkan bila hal itu berkaitan dengan sistem keamanan. Namun penggunaan seragam yang bertujuan menghukum tidak dibenarkan. Karena itu, penjara dan rumah tahanan harus menyediakan fasilitas mencuci dan seragam pengganti yang memadai. Seragam juga tidak boleh merendahkan martabat tahanan atau narapidana.

Hak narapidana untuk melaksanakan ibadah harus juga diberikan. Tak seorang pun narapidana dilarang beribadah. Fasilitas ibadah juga harus disediakan, termasuk bagi penganut agama minoritas.

Selain instrumen-instrumen hak asasi manusia, Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lebaga Pemasyarakatan. UU ini juga mengatur hak-hak narapidana dan tahanan, termasuk hak atas kesehatan, hak atas makanan, sampai hak melaksanakan ibdah. Namun, pelaksanaan hak tersebut masih jauh panggang dari api.

Menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Profesor Harkristuti Harkrisnowo, tak terpenuhinya hak-hak narapidana dan tahanan terutama karena sedikitnya dana dari pemerintah. "Kalau bicara human rights memang sangat minimum yang bisa diberikan, karena memang kondisi fasilitasnya itu tidak terlalu memungkinkan," kata Harkristuti. "Uangnya minim untuk menyokong itu semua," kata lajang yang juga menjabat Direktur Jenderal Perlindungan HAM di Departemen Hukum dan HAM ini. (E1)

Penulis: Margiyono. Reporter: Fathiyah Wardah Alatas


Read More...