Di Malaysia, Penjara Bisa Jadi Profit Center

18 September 2008

Adi Lazuardi/Indonesia Media

Kuala Lumpur - Buah kunjungan Dubes RI untuk Malaysia Da'i Bachtiar, beserta pejabat di jajarannya, berikut rombongan Dharma Wanita, ke penjara khusus wanita di Kajang, Selangor, Malaysia, Senin (28/7) lalu, muncul kesedihan sekaligus kekaguman.

Sedih karena di tempat itu terdapat 1.100 wanita Indonesia dari 1.504 wanita yang ditahan, baik karena perbuatan kriminal atau melanggar keimigrasian. Paling banyak memang tahanan imigrasi karena tinggal atau bekerja tanpa dilengkapi dokumen resmi keimigrasian.

Di antara kesedihan itu, kekaguman juga muncul ketika melihat potret penjara di Malaysia yang boleh dikatakan tidak seperti tempat hukuman (penjara), tetapi tepat disebut sebagai lembaga pemasyarakatan.

"Ini Ironis. Di Indonesia namanya bukan penjara tapi lembaga pemasyarakatan, namun realitasnya adalah benar-benar penjara," kata Da'i kepada kepala penjara Kajang, Nassif, setelah melihat langsung sarana dan kegiatan penjara itu.

Di Malaysia namanya tetap penjara tapi realitasnya benar-benar lembaga pemasyarakatan. Karena di dalam penjara banyak bengkel kreativitas dan para tahanan diberikan begitu banyak peluang kegiatan usaha yang mampu membuat dia mandiri dan berusaha untuk mempertahankan hidup.

Begitu masuk kawasan penjara wanita Kajang, pengunjung akan melihat masjid besar putih dan cantik. Kemudian di halaman parkir akan dijemput gerai atau toko penjualan kerajinan tangan para tahanan.

Penjara di Sungai Buloh, Selangor, juga tidak tampak seperti penjara. Di kanan kiri pintu masuk berdiri apartemen pegawai penjara yang bersih dan nyaman. Setelah masuk, baru terlihat ada penjara di dalamnya.

Begitu pula dengan penjara untuk ISA (internal security act) di Kemunting, Perak. Penjara yang paling ditakuti di Malaysia. Dari luar tidak seperti penjara karena begitu masuk, di kanan kiri jalan tampak pemandangan perkebunan, kemudian fasilitas sekolah dan bermain anak-anak pegawai penjara. Setelah masuk satu kilometer barulah tampak bangunan penjaranya.

Profit Center

Dari kunjungan itu muncul kekaguman karena pemerintah Malaysia selain memiliki desain penjara yang bagus, pengelolaan yang manusiawi, mereka juga mampu menjadikan penjara, istilah kasarnya penampungan sampah masyarakat, menjadi tempat yang menghasilkan (profit center).

Malaysia menargetkan pendapatan sekitar Rp30 miliar atau sekitar 10 juta ringgit pada tahun 2008 dari penjualan produk para tahanan di seluruh penjara.

"Pada semester pertama tahun ini, kami sudah mendapatkan 4 juta ringgit (sekitar Rp12 miliar)," kata pejabat departemen penjara Malaysia Abd Razak ketika menerima kunjungan rombongan KBRI Kuala Lumpur.

Tahun lalu, ungkap Abd Razak, seluruh penjara Malaysia mendapat 6 juta ringgit (sekitar Rp18 miliar) dari penjualan produk para tahanan.

"Seperti di penjara khusus wanita Kajang ini di depan pintu masuk penjara ada gerai penjualan produk tahanan mulai dari kerajinan tangan, baju batik, kue dan rote, salon," katanya.

Bahkan, disediakan juga gerai di internet. "Masyarakat bisa membeli via internet melalui ketik www.prison.com.my dibayar dengan kartu kredit dan bisa diantar ke rumah," kata Abd Razak.

Dalam penjara khusus wanita Kajang ada tujuh bengkel yang disediakan bagi pelatihan kejuruan bagi tahanan yakni bengkel salon, SPA, batik, kerajinan tangan, pembuatan kue dan komputer. Hasil karya mereka juga bagus-bagus dan layak jual dengan harga miring karena dikerjakan oleh para tahanan.

"Beberapa mal besar juga selalu memberikan informasi dan mengajak gerai penjara jika mereka ada pameran," kata pejabat departemen penjara Malaysia itu.

Menurut dia, ada tahanan yang keluar dengan penghasilan ribuan ringgit hasil kerajinan tangannya selama di dalam penjara. “Kami catat setiap produk tahanan dan kami berikan ketika dia keluar dari penjara sebagai pendapatan dan bekal hidup nanti," katanya.

Dubes Da'i dan rombongannya sempat mencicipi aneka macam kue buatan para tahanan. Para petugas penjara tidak lupa memberikan brosur yang isinya penawaran katering dari penjara Kajang yang bisa dipesan untuk berbagai macam pesta.

"Kalau di penjara laki-laki ada keterampilan tukang kayu dan elektronik," tambah Abd Razak.

Sebelum pulang, rombongan ibu-ibu Dharma Wanita KBRI KL memborong produk kerajinan tahanan wanita Kajang. Walau pun tidak ada cap atau tulisan "made by" (dibuat oleh) TKW atau TKI, tapi mayoritas pekerjanya memang TKW atau TKI.

Tidak heran, manajemen pengelolaan penjara di Kajang mendapatkan ISO 9001.

http://www.indonesiamedia.com/2008/8/mid/manca/Di.html


Read More...

ROY MARTEN DAN SISTEM PEMASYARAKATAN

17 September 2008

Secara mengejutkan, Roy Marten, artis senior dalam dunia perfilman Indonesia kembali ditahan oleh polisi dalam kasus yang sama dengan kasus yang membawa dirinya dipenjara di Cipinang selama beberapa bulan. Ironisnya, ini terjadi selang beberapa hari setelah ia hadir dan memberikan tertimoni tentang bahaya narkoba dalam acara yang diselenggarakan oleh Badan Narkotika Nasional. Selain dari keharusan kita menghormati azas praduga tidak bersalah, apa yang tengah dialami oleh Roy memberikan sejumlah catatan kritis.

Pertama, terlepas dari perlunya pemeriksaan lebih jauh, kasus yang menimpa Roy bukanlah satu-satunya. Hanya karena Roy adalah public figure, apa yang dialaminya dirasa perlu untuk diketahui oleh publik. Pengulangan (residivisme) kejahatan penggunaan narkotika dan psikotropika bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dark number untuk pengulangan kasus ini justru sangat besar. Hal ini terkait dengan kriminalisasi terhadap penggunaan narkotika dan psikotropika sehingga tidak akan mudah untuk menemukan begitu saja para penggunanya. Terlebih lagi para pengulang.

Namun demikian, catatan kritis kedua yang dapat diberikan justru terkait dengan ujung dari sistem peradilan pidana di Indonesia ini. Tepatnya peran sistem pemasyarakatan, sebagai sistem yang ditugasi untuk membawa kembali orang-orang yang “tersesat” kembali ke jalan yang benar. Sebagaimana secara eksplisit ditegaskan oleh prinsip-prinsip pemasyarakatan. Apa yang sekarang menimpa Roy Marten, dalam konteks catatan kritis kedua ini, bisa dikatakan tidak murni kesalahan dirinya sendiri. Ada persoalan struktural yang lebih luas yang membuat dirinya tidak mampu keluar dari “lingkarang setan” narkoba.

Dalam sejarah kajian penologi (ilmu tentang penghukuman), dikenal sedikitnya 5 (lima) filosofi penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Sejumlah literatur hanya membuat tiga kategori. Dalam perkembangan awalnya, manusia berfikir bahwa penghukuman hakekatnya adalah membuat penderitaan bagi pelaku kejahatan yang setara dengan penderitaan yang dialami korban. Hukuman sekaligus bentuk balas dendam korban. Jika membunuh, hukumannya dibunuh. Filosofi ini dikenal dengan retributive. Filosofi ini kemudian dikritik oleh kaum rasionalis, yang mengatakan penghukuman seharusnya tidak hanya bertujuan untuk membuat penderitaan yang sama, namun harus memberikan manfaat bagi pengendalian sosial. Oleh karenanya, muncullah filosofi deterrence (penjeraan). Hukuman juga harus mampu membuat jera pelaku kejahatan, serta membuat takut anggota masyarakat yang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama dengan si terhukum. Namun demikian, kedua filosofi ini dianggap tidak manusiawi karena mengedepankan bentuk-bentuk penghukuman yang bersifat badaniah (corporal punishment).

Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, psikologi, dan sosiologi, dua mashab abad pertengahan tersebut dikritik. Kedokteran dan psikologi beranggapan dalam kasus-kasus tertentu kejahatan yang dilakukan disebabkan oleh sejumlah faktor medis dan psikis. Seperti karena gangguan dengan sistem syaraf atau hormonal seseorang cenderung menjadi agresif. Oleh karenanya, penghukuman seharusnya tidak bertujuan untuk menghukum, namun memulihkan faktor-faktor medis dan psikis yang mendorong munculnya kejahatan tersebut. Filosofi ini kemudian dikenal dengan rehabilitative.

Sosiologi juga memberikan kritik yang sama terhadap filosofi penghukuman yang mengedepankan aspek balas dendam dan penderitaan. Sosiologi memandang, kejahatan muncul tidak hanya karena persoalan motivasi individu, namun ada peran dari faktor sosial. Dalam hal ini adalah asosiasi. Seseorang menjadi jahat karena ia berasosiasi dengan kelompok yang juga jahat. Dengan kata lain, kejahatan hanyalah masalah kemana seseorang berasosiasi. Penghukuman dengan demikian harus ditujukan untuk mengajak kembali para pelaku kejahatan untuk konformis dengan nilai dan norma masyarakat. Filosofi ini dikenal dengan resosialisasi.

Sosiologi juga mendorong munculnya satu filosofi lain yang kemudian digunakan dalam penghukuman legal di Indonesia, yaitu reintegrative. Filosofi ini di Indonesia dikembangkan dalam bentuk sistem pemasyarakatan. Bahwa kejahatan pada hakekatnya adalah konflik yang terjadi antara pelaku kejahatan dengan masyarakatnya. Sehingga penghukuman ditujukan untuk resosialisasi sekaligus berupaya mengintegrasikan kembali (reintegrasi) terhukum dengan masyarakatnya.

Kasus yang menimpa Roy Marten menarik untuk didiskusikan dalam konteks perkembangan filosofi penghukuman ini. Tertangkapnya kembali Roy Marten, sebagai pengguna narkoba, memberikan kita pertanyaan besar tentang efektivitas pelaksanaan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan. Diasumsikan sebelum mendapatkan hak menghirup kembali udara segar di luar lembaga, seorang terhukum telah menjalani proses pembinaan. Namun mengapa ada yang mengulangi kejahatannya kembali?

Secara kriminologis, penggunaan narkoba adalah kejahatan yang pelaku sekaligus menjadi korban. Sehingga dalam batas-batas tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang tidak terlalu serius. Berbeda halnya dengan pengguna sekaligus pelaku pengedar yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun masyarakat secara umum. Selain itu, terkait pula dengan karakteristik dari kejahatan ini yang memiliki dampak jangka panjang, khususnya ketergantungan dan toksifikatif, diperlukan suatu model penghukuman yang jauh berbeda dari model yang diterapkan kepada narapidana umumnya.

Filosofi rehabilitasi cenderung lebih tepat sebagai model penghukuman terhadap para pengguna narkoba. Jika dilihat dari karakteristik kejahatan ini, model rehabilitasi jelas memberikan pola penanganan yang lebih jelas dan terukur. Oleh karenanya, kebijakan menjebloskan para pengguna narkotika yang jelas tidak sekaligus menjadi pengedar ke dalam penjara dinilai tidak tepat. Kekhawatiran besar terhadap kebijakan tersebut adalah tidak mampunya lembaga pemasyarakatan yang lebih menekankan filosofi reintegrasi untuk menjalankan fungsi-fungsi rehabilitatif. Terutama dalam melakukan detoksifikasi dan menghilangkan ketergantungan. Jikapun lembaga pemasyarakatan bersikeras mampu melaksanakan fungsi-fungsi rehabilitatif, polemik atas peran sistem pemasyarakatan di Indonesia sekarang ini cenderung membuat kita menjadi semakin skeptis.

Selain dilihat dari ketidakmampuan untuk menjalankan fungsi rehabilitatif, menjebloskan para murni pengguna narkoba ke dalam lembaga pemasyarakatan akan sangat berpotensi menjadikan mereka pelaku kejahatan yang lebih serius (efek prisonisasi). Terlebih lagi di dalam sistem penjara yang belum mampu memberlakukan kategorisasi narapidana secara ketat. Di dalamnya, interaksi sekaligus proses pembelajaran antaar pengguna dengan pengguna, terlebih lagi pengguna dengan pengedar sangat mungkin terjadi.

Pemerintah seharusnya dapat lebih sensitif terhadap persoalan ini. Rumit dan kompleksnya permasalahan sistem pemasyarakatan Indonesia dewasa ini sangat mungkin menambah jumlah residivisme para penggunan narkoba. Pemerintah pada dasarnya memiliki banyak pilihan alternatif penghukuman bagi para penggunan narkoba. Bahkan di antara alternatif tersebut telah dipraktekkan sejak lama dalam format Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang telah berperan aktif dalam memberikan konseling kepada murni pengguna.

Namun dalam kenyataannya pemerintah terlihat lebih senang menjebloskan sebanyak mungkin pelaku kejahatan ke dalam penjara. Filosofi penghukuman rehabilitatif memang masih mendukung institusionalisasi penghukuman. Hukuman harus dilaksanakan dalam satu lembaga khusus. Namun tidak berarti institusi yang dimaksud adalah penjara. Pemerintah seharusnya dapat mengintensifkan alternatif-alternatif penghukuman yang menjamin berjalannya fungsi rehabilitatif bagi murni pengguna narkoba. Sehingga masalah yang tengah dialami Roy Marten tidak diikuti oleh mantan-mantan pengguna lainnya yang justru berpotensi menambah dark number.

http://kriminologi1.wordpress.com/2007/11/16/roy-marten-dan-sistem-pemasyarakatan/


Read More...

Penyalah Guna Narkoba, Korban atau Penjahat

14 September 2008

Media Indonesia, Selasa, 13 Mei 2008
Penulis : Drs Togar M Sianipar, KomJen Polisi (Purn)


Pada Juni dan Desember 2007 lalu, BNN menyelenggarakan sarasehan di Jakarta dan Yogyakarta, mengangkat isu bertema sama dengan judul tulisan ini. Ketika mengangkat isu tersebut, BNN tentu mempunyai sederet alasan dan pertimbangan. Terutama disebabkan oleh begitu banyaknya keluhan para orang tua yang menganggap bahwa pemidanaan dan pemenjaraan penyalah guna narkoba (terutama anak dan remaja), tidak akan menyelesaikan masalah, apalagi menyembuhkan. Malahan dikhawatirkan korban/anak justru semakin parah, ditambah lagi dengan kondisi LP (lembaga pemasyarakatan) yang tidak mendukung.

Tuntutan para orang tua seperti ini, sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara. Para orang tua meyakini bahwa upaya terapi dan rehabilitasi merupakan langkah yang jauh lebih tepat. Meski demikian, tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa terhadap mereka yang terlibat kasus narkoba (pemakai, pengedar, dan produsen), cara yang paling tepat adalah hukuman. Di Indonesia, hal ini diatur dalam UU No 22/1997 tentang Narkotika, dan UU No 5/ 1997 tentang Psikotropika.

Tulisan ini, akan menguraikan beberapa hal yang perlu kita simak bersama, bagaimana sebaiknya agar kedua kepentingan tersebut dapat diakomodasi secara bijaksana.

Fakta mengenai permasalahan narkoba di dunia saat ini adalah bahwa masyarakat internasional telah berhasil menahan laju permasalahan, walaupun memang belum berhasil menurunkannya. Penyalahgunaan narkoba di seluruh dunia sampai sekarang ini dapat ditahan pada tingkat 5% dari jumlah seluruh penduduk dunia dewasa, atau sekitar 1/5 dan 1/6-nya dari ketergantungan pada rokok dan alkohol. Tidak lebih dari 25 juta atau 0,5% dari penduduk dunia merupakan pecandu narkoba bermasalah, lebih sedikit daripada jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS (artinya orang dengan ODHA lebih banyak daripada pencandu narkoba). Kematian akibat narkoba juga hanya sekitar 200.000 orang per tahun (15.000 orang di Indonesia), sekitar 1/10 dari jumlah mereka yang mati akibat alkohol, dan 1/20 dari jumlah orang yang mati karena tembakau.

UNODC, United Nations Office on Drugs and Crime, memberikan gambaran kondisi di dunia saat ini, sangat banyak kejahatan dan kasus pencucian uang. Sangat banyak orang dipenjara. Sangat sedikit orang mengikuti pelayanan kesehatan, sangat sedikit sumber-sumber untuk pencegahan, terapi, dan rehabilitasi. Sangat banyak perhatian dan sumber-sumber dikerahkan untuk upaya pemberantasan tumbuhan narkoba, tetapi sangat sedikit upaya untuk menanggulangi kemiskinan yang merupakan akar dari semua permasalahan (UNODC 2008).

Di seluruh dunia, laju pertumbuhan permasalahan narkoba baik penyalahgunaan maupun pengedaran gelap dapat ditahan, tetapi di Indonesia justru menunjukkan gejala terus meningkat tajam. Fakta tersebut jelas menunjukkan betapa ketinggalan dan tidak berhasilnya upaya penanggulangan bahaya narkoba di Indonesia jika dibandingkan dengan upaya yang sama di seluruh dunia pada umumnya, dan di negara- negara tetangga khususnya.

Hasil Survei Nasional Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Seluruh Indonesia, tahun 2006, yang diselenggarakan oleh BNN (BNN, 2007) menyimpulkan bahwa 8% dari pelajar SLTP, SLTA, dan mahasiswa perguruan tinggi/akademi yang dijadikan responden penelitian (73.842 siswa dan mahasiswa dari SLTP, SLTA, akademi/ perguruan tinggi dari 33 provinsi di seluruh Indonesia), mengaku pernah menyalahgunakan narkoba, atau tingkat prevalensi penyalahgunaan untuk kategori pernah dan 5% untuk kategori pernah memakai dalam satu tahun terakhir. Bila dibandingkan dengan hasil Survei Nasional Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di seluruh Indonesia tahun 2003, prevalensi penyalahgunaan narkoba adalah sebesar 3,9%, terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun (2003-2007).

Hasil survei nasional 2006 lebih jauh menunjukkan sekitar 40% penyalah guna adalah siswa SLTA dan lebih dari separuh mahasiswa akademi/PT mengaku pernah memakai ganja dalam setahun terakhir. Sekitar 10% sampai 15% penyalah guna narkoba di semua jenjang pendidikan mengaku memakai ekstasi dan sabu. Pemakai sabu meningkat sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Sekitar 7% penyalah guna di semua jenjang pendidikan menggunakan heroin dan atau morfin. Sekitar 4%- 5% mengaku menggunakan kokain, LSD, ketamin, dan yaba. Empat dari 10 pelajar dan mahasiswa penyalah guna mulai menggunakan narkoba pada usia satu tahun lebih muda.

Ganja merupakan jenis narkoba yang paling banyak digunakan pertama kali. Satu persen sampai 4% pelajar dan mahasiswa mengaku pernah menggunakan narkoba dengan jarum suntik. Angka ini hampir merata di seluruh Indonesia dan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Hanya 8% dari penyalah guna narkoba yang mengaku pernah mengikuti terapi dan rehabilitasi. Sebanyak 80% dari semua pelajar dan mahasiswa yang dijadikan responden penelitian mengaku pernah terpapar (exposed) promosi pencegahan narkoba dan 75% di antaranya mengaku memahami pesan promosi pencegahan tersebut (BNN, 2007).

Sementara itu, angka-angka tentang tahanan dan narapidana menunjukkan bahwa proporsi tahanan dan narapidana narkoba meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, 28,71% dari 112.744 tahanan dan narapidana di seluruh Indonesia adalah tahanan dan narapidana narkoba, jauh melampaui proporsi tahanan dan narapidana pelaku tindak kejahatan lainnya (pencurian 12,34%, pembunuhan 7,2%, perjudian 3,82%, dan penganiayaan 3,61%, pelanggaran ketertiban 2,66% lain-lain 41,67%).

Angka-angka ini menunjukkan, proporsi tahanan dan narapidana narkoba bukan saja paling tinggi, jauh melampaui bahkan beberapa kali lipat dari proporsi tahanan dan narapidana tindak kejahatan lainnya yang proporsinya tinggi (pencurian, pembunuhan, perjudian, penganiayaan, dan pelanggaran ketertiban), tetapi juga paling tinggi peningkatan per tahunnya. Proporsi tahanan dan narapidana narkoba tahun 2005 sebesar 24%, tahun 2006 meningkat menjadi 28,71%, atau sebesar hampir 5% dalam satu tahun (BNN, 2007). Kalau gelagat itu berlangsung terus seperti itu, rumah tahanan dan penjara yang ada akan penuh dengan tahanan dan narapidana narkoba.

Fakta lainnya yang sangat memprihatinkan adalah maraknya pengedaran gelap narkoba di dalam rumah tahanan dan LP, sehingga LP seolah-olah telah berfungsi sebagai lembaga tempat memasyarakatkan (socializing) pengedaran dan penyalahgunaan narkoba. Lebih memprihatinkan lagi, adanya penghuni LP yang telah divonis hukuman mati, namun dapat dengan leluasa mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara, sebagaimana telah diutarakan dalam tulisan sebelumnya.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan kepada kita semua bahwa:

Pelaku dan korban penyalahgunaan narkoba adalah remaja dan pemuda (pelajar SLTP, SLTA, dan mahasiswa perguruan tinggi), yang merupakan aset dan penentu masa depan bangsa dan negara. Karena itu terhadap mereka (sesuai dengan hak asasinya) seharusnya dilakukan perlindungan dan penyelamatan, bukan malahan memenjarakan para remaja dan pemuda ini.

Proporsi tahanan dan narapidana narkoba bukan saja tinggi, tetapi juga meningkat tajam, sehingga semua rumah tahanan dan penjara yang ada akan penuh dengan tahanan dan narapidana narkoba. Dengan demikian, semua fasilitas rumah tahanan dan penjara yang ada, yang sudah overcapacity akan makin sesak, dan pasti akan menambah beban APBN.

Pemenjaraan penyalah guna narkoba, apalagi bila dibaurkan dengan napi lainnya, tentu akan menularkan penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba kepada napi lainnya, sehingga menjadikan LP sebagai tempat yang nyaman untuk perdagangan gelap narkoba.
Dekriminalisasi penyalah guna narkoba

Di dunia internasional muncul wacana dan debat mengenai judul tulisan ini. UNODC sehubungan dengan HAM, menganjurkan agar negara-negara anggota mempertimbangkan dekriminalisasi penyalah guna narkoba. Artinya penyalah guna narkoba harus dipandang dan diperlakukan sebagai korban, dan bukan sebagai pelaku tindak kriminal.

Pasal 88, ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menegaskan, "Pecandu narkotika dewasa yang dengan sengaja tidak melaporkan dirinya seperti dimaksud pada Pasal 46, ayat (4) diancam hukuman penjara paling lama enam bulan dan denda paling besar Rp2 juta. (2) Keluarga/ kerabat pecandu narkoba yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu tersebut diancam hukuman paling lama tiga bulan dan denda paling besar Rp1.000.000 (satu juta rupiah)."

Salah satu kriteria bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal adalah, apabila dilakukan dengan sengaja dan menyebabkan orang lain menderita kerugian, luka, atau mati. Kalau korbannya hanya orang lain seperti yang diperhatikan oleh kriteria ini, pertanyaannya adalah bagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan yang korbannya adalah diri sendiri seperti melukai diri, membakar diri, berusaha bunuh diri, dan menyalahgunakan narkoba. Dengan kriteria tersebut, penyalah guna narkoba sering disebut sebagai victimless crime, karena tidak menimbulkan korban orang lain.

Dekriminalisasi di lapangan

Di lapangan, tidak mudah untuk menerapkan ketentuan pasal tersebut, terutama mengenai pengertian 'yang dengan sengaja tidak melaporkan diri'. Sangatlah sulit membedakan antara 'dengan sengaja' dengan 'tidak dengan sengaja' tidak melaporkannya. Selain itu juga, sangat sulit membedakan antara penyalah guna atau pecandu narkoba yang murni pecandu dan yang merangkap sebagai pengedar gelap narkoba.

Karena, biasanya, setelah seseorang mulai mencoba dan kemudian menjadi ketagihan, maka untuk memenuhi kebutuhannya akan narkoba ia melakukan pengedaran gelap narkoba. Karena itu, yang semula ia hanya sebagai pengguna, kemudian merangkap sebagai pengedar gelap.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum di lapangan (khususnya Polri) akan menangkap setiap penyalah guna sebagai pelaku tindak kejahatan narkoba, karena sulit membedakan mana penyalah guna yang benar-benar hanya sebagai penyalah guna, dan mana penyalah guna yang merangkap sebagai pengedar, serta mana pula yang hanya sebagai pengedar.

Ketika ditangkap, yang bersangkutan dapat saja mengaku hanya sebagai penyalah guna, padahal sebenarnya ia merangkap sebagai pengedar atau malahan hanya pengedar. Dalam situasi demikian, aparat tentu akan bersikap tidak mau terkecoh. Apalagi ketika digeledah, ternyata yang bersangkutan memiliki, menyimpan, atau menguasai narkoba, maka yang bersangkutan akan ditangkap dan diproses hukum karena kepemilikan, penguasaan, dan penyimpanan narkoba.

Mereka yang hanya sebagai penyalah guna pun terdiri atas dua kategori, yaitu mereka yang menjadi penyalah guna atau ketergantungan narkoba secara sadar dan dengan sengaja karena didorong oleh keingintahuan dan keinginan untuk mencoba, ingin diterima oleh kelompok atau ingin menyesuaikan diri dengan gaya hidup kelompoknya, dan mereka yang benar-benar menjadi korban, yang menggunakan narkoba bukan atas kesadaran dan keinginannya.

Mengapa dekriminalisasi

Dekriminalisasi penyalahgunaan narkoba dimaksudkan untuk mengurangi tekanan permasalahan:

Kriminalisasi penyalah guna narkoba, ternyata tidak menimbulkan baik deterrent effect maupun dampak jera pelaku. Dari perspektif penanggulangan permasalahan narkoba secara keseluruhan, penahanan dan pemenjaraan tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah permasalahan baru.

Pelaku penyalahgunaan dan penderita ketergantungan narkoba sebagian besar adalah remaja dan pemuda yang merupakan aset dan penentu masa depan bangsa dan negara, yang berdasarkan HAM mereka berhak untuk dilindungi.

Berdasarkan asumsi bahwa penyalah guna dan penderita ketergantungan narkoba pada hakikatnya adalah orang sakit, maka perlu diobati, bukan dihukum. Maka juga demi HAM, khususnya hak akan pelayanan kesehatan, pengobatan dan perawatan penyalah guna narkoba lebih arif daripada memenjarakannya.

Mendorong agar penyalah guna atau pecandu narkoba tidak segan berobat ke rumah sakit ketergantungan obat (RSKO), ke pusat terapi dan rehabilitasi narkoba, atau ke bagian kesehatan jiwa rumah sakit umum, tanpa rasa takut ditangkap oleh aparat penegak hukum, sehingga proporsi penyalah guna dan pecandu narkoba yang berobat meningkat, dan fasilitas pelayanan terapi dan rehabilitasi yang tersedia akan bermanfaat.

Kenyataan menunjukkan, proporsi penyalah guna dan pecandu meningkat tajam, sementara proporsi yang mengikuti terapi dan rehabilitasi sangat kecil, seperti dikemukakan di atas, hanya sekitar 5% (menurut pengakuan pelaku). Banyak fasilitas terapi rehabilitasi swasta maupun pemerintah yang kekurangan pasien, bahkan ada beberapa di antaranya yang terpaksa harus tutup, karena tidak ada calonresident yang mendaftar.

Di lingkungan masyarakat Indonesia, sampai saat ini menyalahgunakan atau menderita kecanduan narkoba tergolong aib keluarga, sehingga bukan saja ada perasaan takut ditangkap dan dipenjara, tetapi juga karena merasa sebagai aib, orang tua atau keluarganya cenderung menyembunyikannya.

Mereka yang berasal dari keluarga mampu, secara diam-diam dapat mengirimkan ke fasilitas terapi dan rehabilitasi di luar negeri, atau fasilitas perawatan tradisional, atau perawatan spiritual, yang jumlahnya cukup banyak, walaupun efektivitasnya belum tentu terjamin. Sebagian masyarakat karena mengetahui bahwa penyalahgunaan atau kecanduan narkoba merupakan perbuatan kriminal, mereka lebih bersikap tidak melaporkan kepada yang berwajib, tetapi malah menyembunyikannya.

Dekriminalisasi mungkin, tetapi perlu pertimbangan dan penyelusuran saksama
Apakah penyalah guna dan pecandu narkoba itu kriminal atau korban, tentu sangat tergantung pada latar belakang dan keadaan sebenarnya.

Apabila seseorang menjadi penyalah guna atau penderita ketergantungan narkoba itu,
Benar-benar karena ajakan, iming-iming, bujukan, desakan, paksaan pacar, teman sebaya, pusher, atau lainnya, di luar kesadaran dan kemauan pelaku, dan selanjutnya yang bersangkutan terus ajek hanya sebagai penyalah guna, maka yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai korban.

Benar-benar karena tipuan orang melalui pemberian permen atau minuman yang dicampur dengan narkoba di luar sepengetahuan dan kesadarannya, sehingga yang bersangkutan menjadi pengguna atau pecandu, maka juga dapat dikatakan sebagai korban.
Benar-benar akibat proses pengobatan penyakit yang dideritanya, kemudian yang bersangkutan menjadi ketagihan akan narkoba, maka juga dapat dikatakan sebagai korban.

Tetapi apabila pengguna atau pecandu narkoba melakukan atas kesadaran, kemauan, dan dorongan, keputusan dan pilihannya sendiri, walaupun yang bersangkutan hanya sebagai pengguna, adalah sulit untuk dikatakan sebagai korban. Demikian pula apabila pengguna atau pecandu merangkap sebagai pengedar, apa pun latar belakangnya, dan apa pun alasannya, tentu tidak dapat dikatakan sebagai korban.

Mengingat dan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, pemberian label 'korban' tidak bisa dikenakan secara otomatis, serta-merta, dan berlaku universal bagi semua penyalah guna atau pecandu, tetapi perlu dilakukan seleksi, jangan sampai penyalahgunaan narkoba digunakan sebagai alibi atau penyembunyian tindak kejahatan narkoba oleh mereka yang benar-benar penjahat narkoba.

Seseorang dapat dikatakan sebagai korban dan minta diperlakukan sebagai korban, tentu harus melalui proses, penyelusuran yang jelas dan cermat tentang rekam jejak dan latar belakang, serta bukti-bukti dan saksi yang diperlukan. Untuk bisa melakukan hal ini, sangat dituntut kemampuan komunikasi interpersonal, ketajaman intuisi, serta kearifan para anggota Polri yang bertugas di lapangan.

http://mediaindonesia.com/webtorial/ycab/?ar_id=NTE0

Read More...

Blue Print Pembaruan Sistem Pelaksanaan Ditjen Pemasyarakatan

11 September 2008

Kamis, 04 September 2008

Jakarta, hukumham.info--Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia (Depkumham) bekerjasama dengan Asian Foundation mengadakan rapat dalam rangka menguji kekuatan blue print (cetak biru) Pemasyarakatan sesuai dengan schedule yang dihadapi para kepala unit di lingkungan Ditjen Pas.

Dalam sambutan pembukaannya, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono menyatakan, beberapa kali masalah blue print telah dilokakaryakan.

Maksudnya, agar ada masukan untuk perombakan di lingkungan Pemasyarakatan. "Tanpa ada perombakan paradigma kepemimpinan, Pemasyarakatan tidak akan mendapat perubahan yang berarti," ujar Untung pada acara "Cetak Biru Pembaruan Sistem Pelaksanaan Pemasyarakatan" di Hotel Sriwijaya, Jakarta (04/09).

Pertemuan diwakili oleh tiga orang kepala kanwil, yaitu, dari Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan. Lima orang kepala divisi, yaitu dari Jambi, Bangka Belitung, Jawa Barat, DKI Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, dari lingkungan Ditjen Pemasyarakatan dan dari Asian Foundation.

Untung menambahkan, konsultasi yang diadakan ini agar searah dengan paradigma yang diinginkan, yaitu perlunya perubahan (minimnya kapasitas, kompleksnya persoalan, filosofi penghukuman, HAM, dan governance). "Diharapkan dari pertemuan ini dapat memberikan masukan. Para peserta diharapkan agar turut serta untuk memenuhi kebutuhan, turut serta menyusun, turut serta mendukung dan turut serta melakukan pembaharuan."

Secara umum, tujuan disusunnya naskah blue print Pembaruan Pemasyarakatan adalah terumuskannya suatu dokumen yang lengkap dan tuntas. Dokumen ini menjadi panduan bagi semua pihak dalam upaya meneguhkan posisi Pemasyarakatan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi Pemasyarakatan serta penegakan hukum di Indonesia.

Cetak Biru Pembaruan Pemasyarakatan adalah dokumen yang menjabarkan pemikiran, gagasan, dan aspirasi mengenai pembaruan Pemasyarakatan yang disusun atas dasar kondisi-kondisi obyektif sistem Pemasyarakatan yang berjalan selama ini untuk merumuskan suatu formula perbaikan/perubahan yang meliputi rencana tindak yang terperinci, konkrit dan terukur yang diharapkan menjadi arahan bagi kebijakan Pemasyarakatan dimasa datang.

Secara khusus, naskah Cetak Biru Pembaruan Pemasyarakatan bertujuan untuk : Pertama, memberikan gambaran mengenai kondisi obyektif saat ini sebagai sarana refleksi dan evaluasi atas pelaksanaan sistem Pemasyarakatan; Kedua, merumuskan langkah-langkah strategis di masa mendatang dalam kerangka melaksanakan misi Pemasyarakatan untuk menjawab tantangan dan hambatan yang ada; Ketiga, secara praktis naskah Cetak Biru Pembaruan Pemasyarakatan merupakan dokumen utama yang menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Strategis Pembangunan Direktorat Pemasyarakatan tahun 2009 – 2014.***

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=1305&Itemid=43



Read More...