Secara mengejutkan, Roy Marten, artis senior dalam dunia perfilman Indonesia kembali ditahan oleh polisi dalam kasus yang sama dengan kasus yang membawa dirinya dipenjara di Cipinang selama beberapa bulan. Ironisnya, ini terjadi selang beberapa hari setelah ia hadir dan memberikan tertimoni tentang bahaya narkoba dalam acara yang diselenggarakan oleh Badan Narkotika Nasional. Selain dari keharusan kita menghormati azas praduga tidak bersalah, apa yang tengah dialami oleh Roy memberikan sejumlah catatan kritis.
Pertama, terlepas dari perlunya pemeriksaan lebih jauh, kasus yang menimpa Roy bukanlah satu-satunya. Hanya karena Roy adalah public figure, apa yang dialaminya dirasa perlu untuk diketahui oleh publik. Pengulangan (residivisme) kejahatan penggunaan narkotika dan psikotropika bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dark number untuk pengulangan kasus ini justru sangat besar. Hal ini terkait dengan kriminalisasi terhadap penggunaan narkotika dan psikotropika sehingga tidak akan mudah untuk menemukan begitu saja para penggunanya. Terlebih lagi para pengulang.
Namun demikian, catatan kritis kedua yang dapat diberikan justru terkait dengan ujung dari sistem peradilan pidana di Indonesia ini. Tepatnya peran sistem pemasyarakatan, sebagai sistem yang ditugasi untuk membawa kembali orang-orang yang “tersesat” kembali ke jalan yang benar. Sebagaimana secara eksplisit ditegaskan oleh prinsip-prinsip pemasyarakatan. Apa yang sekarang menimpa Roy Marten, dalam konteks catatan kritis kedua ini, bisa dikatakan tidak murni kesalahan dirinya sendiri. Ada persoalan struktural yang lebih luas yang membuat dirinya tidak mampu keluar dari “lingkarang setan” narkoba.
Dalam sejarah kajian penologi (ilmu tentang penghukuman), dikenal sedikitnya 5 (lima) filosofi penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Sejumlah literatur hanya membuat tiga kategori. Dalam perkembangan awalnya, manusia berfikir bahwa penghukuman hakekatnya adalah membuat penderitaan bagi pelaku kejahatan yang setara dengan penderitaan yang dialami korban. Hukuman sekaligus bentuk balas dendam korban. Jika membunuh, hukumannya dibunuh. Filosofi ini dikenal dengan retributive. Filosofi ini kemudian dikritik oleh kaum rasionalis, yang mengatakan penghukuman seharusnya tidak hanya bertujuan untuk membuat penderitaan yang sama, namun harus memberikan manfaat bagi pengendalian sosial. Oleh karenanya, muncullah filosofi deterrence (penjeraan). Hukuman juga harus mampu membuat jera pelaku kejahatan, serta membuat takut anggota masyarakat yang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama dengan si terhukum. Namun demikian, kedua filosofi ini dianggap tidak manusiawi karena mengedepankan bentuk-bentuk penghukuman yang bersifat badaniah (corporal punishment).
Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, psikologi, dan sosiologi, dua mashab abad pertengahan tersebut dikritik. Kedokteran dan psikologi beranggapan dalam kasus-kasus tertentu kejahatan yang dilakukan disebabkan oleh sejumlah faktor medis dan psikis. Seperti karena gangguan dengan sistem syaraf atau hormonal seseorang cenderung menjadi agresif. Oleh karenanya, penghukuman seharusnya tidak bertujuan untuk menghukum, namun memulihkan faktor-faktor medis dan psikis yang mendorong munculnya kejahatan tersebut. Filosofi ini kemudian dikenal dengan rehabilitative.
Sosiologi juga memberikan kritik yang sama terhadap filosofi penghukuman yang mengedepankan aspek balas dendam dan penderitaan. Sosiologi memandang, kejahatan muncul tidak hanya karena persoalan motivasi individu, namun ada peran dari faktor sosial. Dalam hal ini adalah asosiasi. Seseorang menjadi jahat karena ia berasosiasi dengan kelompok yang juga jahat. Dengan kata lain, kejahatan hanyalah masalah kemana seseorang berasosiasi. Penghukuman dengan demikian harus ditujukan untuk mengajak kembali para pelaku kejahatan untuk konformis dengan nilai dan norma masyarakat. Filosofi ini dikenal dengan resosialisasi.
Sosiologi juga mendorong munculnya satu filosofi lain yang kemudian digunakan dalam penghukuman legal di Indonesia, yaitu reintegrative. Filosofi ini di Indonesia dikembangkan dalam bentuk sistem pemasyarakatan. Bahwa kejahatan pada hakekatnya adalah konflik yang terjadi antara pelaku kejahatan dengan masyarakatnya. Sehingga penghukuman ditujukan untuk resosialisasi sekaligus berupaya mengintegrasikan kembali (reintegrasi) terhukum dengan masyarakatnya.
Kasus yang menimpa Roy Marten menarik untuk didiskusikan dalam konteks perkembangan filosofi penghukuman ini. Tertangkapnya kembali Roy Marten, sebagai pengguna narkoba, memberikan kita pertanyaan besar tentang efektivitas pelaksanaan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan. Diasumsikan sebelum mendapatkan hak menghirup kembali udara segar di luar lembaga, seorang terhukum telah menjalani proses pembinaan. Namun mengapa ada yang mengulangi kejahatannya kembali?
Secara kriminologis, penggunaan narkoba adalah kejahatan yang pelaku sekaligus menjadi korban. Sehingga dalam batas-batas tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang tidak terlalu serius. Berbeda halnya dengan pengguna sekaligus pelaku pengedar yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun masyarakat secara umum. Selain itu, terkait pula dengan karakteristik dari kejahatan ini yang memiliki dampak jangka panjang, khususnya ketergantungan dan toksifikatif, diperlukan suatu model penghukuman yang jauh berbeda dari model yang diterapkan kepada narapidana umumnya.
Filosofi rehabilitasi cenderung lebih tepat sebagai model penghukuman terhadap para pengguna narkoba. Jika dilihat dari karakteristik kejahatan ini, model rehabilitasi jelas memberikan pola penanganan yang lebih jelas dan terukur. Oleh karenanya, kebijakan menjebloskan para pengguna narkotika yang jelas tidak sekaligus menjadi pengedar ke dalam penjara dinilai tidak tepat. Kekhawatiran besar terhadap kebijakan tersebut adalah tidak mampunya lembaga pemasyarakatan yang lebih menekankan filosofi reintegrasi untuk menjalankan fungsi-fungsi rehabilitatif. Terutama dalam melakukan detoksifikasi dan menghilangkan ketergantungan. Jikapun lembaga pemasyarakatan bersikeras mampu melaksanakan fungsi-fungsi rehabilitatif, polemik atas peran sistem pemasyarakatan di Indonesia sekarang ini cenderung membuat kita menjadi semakin skeptis.
Selain dilihat dari ketidakmampuan untuk menjalankan fungsi rehabilitatif, menjebloskan para murni pengguna narkoba ke dalam lembaga pemasyarakatan akan sangat berpotensi menjadikan mereka pelaku kejahatan yang lebih serius (efek prisonisasi). Terlebih lagi di dalam sistem penjara yang belum mampu memberlakukan kategorisasi narapidana secara ketat. Di dalamnya, interaksi sekaligus proses pembelajaran antaar pengguna dengan pengguna, terlebih lagi pengguna dengan pengedar sangat mungkin terjadi.
Pemerintah seharusnya dapat lebih sensitif terhadap persoalan ini. Rumit dan kompleksnya permasalahan sistem pemasyarakatan Indonesia dewasa ini sangat mungkin menambah jumlah residivisme para penggunan narkoba. Pemerintah pada dasarnya memiliki banyak pilihan alternatif penghukuman bagi para penggunan narkoba. Bahkan di antara alternatif tersebut telah dipraktekkan sejak lama dalam format Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang telah berperan aktif dalam memberikan konseling kepada murni pengguna.
Namun dalam kenyataannya pemerintah terlihat lebih senang menjebloskan sebanyak mungkin pelaku kejahatan ke dalam penjara. Filosofi penghukuman rehabilitatif memang masih mendukung institusionalisasi penghukuman. Hukuman harus dilaksanakan dalam satu lembaga khusus. Namun tidak berarti institusi yang dimaksud adalah penjara. Pemerintah seharusnya dapat mengintensifkan alternatif-alternatif penghukuman yang menjamin berjalannya fungsi rehabilitatif bagi murni pengguna narkoba. Sehingga masalah yang tengah dialami Roy Marten tidak diikuti oleh mantan-mantan pengguna lainnya yang justru berpotensi menambah dark number.
http://kriminologi1.wordpress.com/2007/11/16/roy-marten-dan-sistem-pemasyarakatan/
ROY MARTEN DAN SISTEM PEMASYARAKATAN
17 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar