Jakarta, hukumham.info— Badan Narkotika Nasional (BNN) memprediksi Indonesia akan bebas narkoba tahun 2015. Jika program pengatasan overkapasitas lapas/rutan berhasil, bukan tidak mungkin lapas/rutan juga akan bebas narkoba tahun 2015.
Overkapasitas disinyalir oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan (Pas) Untung Sugiyono sebagai penyebab penyalahgunaan narkoba di lapas dan rutan. Untuk itu, berbagai strategi digunakan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pas untuk mengatasinya.
”Berdasarkan perhitungan yang kami lakukan untuk mengurangi overkapasitas, saat ini kami sedang mengatasinya dengan membangun dan ruang hunian baru, rehabilitasi ruang hunian lapas/rutan, pemerataan penghuni lapas/rutan, serta optimalisasi Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB),” ujar Untung saat membuka Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba untuk Kalangan Petugas Lapas/Rutan di Lapas Klas I Tangerang, Banten (19/06).
”Jika kondisi orang keluar dan masuk lapas sama seperti tahun-tahun lalu, ruang hunian yang dibangun sama seperti tahun-tahun sebelumnya, serta PB, CMB, dan CB diberikan optimal, maka 2-3 tahun lagi overkapasitas bisa diatasi. Tapi dengan catatan, kondisinya harus sama,” kata Untung di hadapan 94 petugas Lapas/Rutan se-Indonesia.
Untung berkesimpulan, jika overkapasitas bisa diatasi, maka penyalahgunaan narkoba di lapas/rutan juga bisa diatasi. ”BNN mencanangkan bahwa Indonesia bebas narkoba tahun 2015. Jika tahun 2012 kita bisa menangani overkapasitas, maka empat tahun kemudian kita bisa mendukung pernyataan BNN bahwa Indonesia akan bebas dari narkoba tahun 2015,” lanjut Untung.
Saat ini, Untung mengakui bahwa 30% penghuni lapas/rutan di Indonesia menyandang kasus narkoba. Bahkan di kota-kota besar, kasus narkoba disinyalir mencapai 50% sampai 60%.
”Kita lihat di Lapas Klas I Tangerang ini, dari 1879 penghuni lapas, kasus narkobanya 879 orang, atau sekitar 60%-nya. Untuk itu tidak menutup kemungkinan di tempat lain juga, tren ini terus naik. Belum mencapai titik jenuh,” papar Untung.***
http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=990&Itemid=43
Lapas/Rutan Bebas Narkoba Tahun 2015
20 Juni 2008Diposting oleh LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA-INDONESIA di 6/20/2008 03:00:00 PM 0 komentar
Label: kliping PIK-HUKUMHAM
Sistem pemasyarakatan Indonesia belum tersentuh semangat reformasi dan kebangkitan nasional
13 Juni 2008Ghali Zakaria (06/06/2008 - 03:36 WIB)
Jurnalnet.com (Jakarta): Beberapa waktu lalu kita sebagai bangsa Indonesia merayakan momentum bersejarah sepuluh tahun Reformasi dan se-Abad Kebangkitan Nasional. Pada dasarnya reformasi dan kebangkitan nasional merupakan bentuk perwujudan kepedulian rakyat Indonesia terhadap kemiskinan, pendidikan, degradasi moral, Interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa lain dan masalah-masalah lain yang dihadapi negara yang tercinta ini menuju kesejahteraan sosial dan integrasi nasional yang mapan.
Mungkin yang terlupakan dalam semangat reformasi dan kebangkitan nasional adalah pembenahan di sektor sistem pemasyarakatan Indonesia. Apabila masalah yang terlupakan ini dibiarkan terus-menerus hampir dipastikan semangat cita-cita bangsa Indonesia tidak akan sempurna.
Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah selaku pembuat keputusan selama ini terhadap permasalahan di dalam sistem pemasyarakatan Indonesia belum terasa efeknya secara positif. Sebenarnya, pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia bukan hanya memiliki efek jera terhadap pelaku kejahatan melainkan melihat kegunaan efek penghukuman tersebut sebagai hukuman itu sebagai kontrol sosial yang mempunyai dasar mencegah kejahatan yang diperbuat tidak terulang kembali, sebagai penopang moral masyarakat yang taat pada hukum, dan memberi bekal hidup kepada pelaku tindak kejahatan.
Hal ini termaktub dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan, bahwa Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Secara normatif memang seperti itu tapi dalam implementasinya sangat jauh dari keberhasilan bila dilihat permasalahan-permasalahan pelik yang dihadapi sistem permasyarakatan Indonesia dengan serangkaian kebijakan pemerintah.
Kelebihan Kapasitas
Lebih besar pemasukan daripada pengeluaran itu menggambarkan kondisi penjara ini. Sebagian besar lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia over kapasitas. Kelebihan kapasitas ini kalau dirunut lebih jauh memiliki efek domino terhadap permasalahan yang muncul kepermukaan sehingga kebijakan yang diberikan pihak lembaga permasyarakatan kurang maksimal.
Berdasarkan data dari Departemen Hukum dan HAM jumlah penghuni dengan Rumah Tahanan dan Lembaga pemasyarakatan dari tahun ke tahun mengalami lonjakan yang signifikan misalnya tahun 2003 jumlah tahanan dan narapidana 71.587 orang dengan kapasitas hunian 64.345 orang, tahun 2004 jumlah tahanan dan narapidana 86.450 orang dengan kapasitas 66.891 orang, tahun 2005 jumlah tahanan dan narapidana 97.671 orang dengan kapasitas hunian 68.141 orang.
Sedangkan data yang terakhir pada tanggal 17 agustus 2006 jumlah tahanan dan narapidana diseluruh Indonesia berjumlah 116.668 orang dengan kapasitas hunian 70.241 orang. Pelonjakan angka-angka ini tidak cukup “mengagetkan” apabila dilihat dari kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah.
Bentuk-bentuk kebijakan yang dapat menimbulkan permasalahan akibat dari kelebihan kapasitas ini.
Pertama, kebijakan kesehatan kurang maksimal sehingga hak dasar kesehatan narapidana tidak terpenuhi. Dengan demikian, keterbatasan anggaran dan penghuni lembaga pemasyarakatan yang merupakan masalah klasik menjadi permasalahan utama dalam menambah keterpurukan lembaga pemasyarakatan.
Kedua, kebijakan terhadap pelaku tawuran didalam penjara. Dalam hal ini, pihak lembaga hanya bersifat reaktif dalam melihat tawuran di dalam penjara tanpa melihat kebijakan pencegahan tawuran tersebut ketika sudah terjadinya tawuran barulah pihak dari lapas mencari sebab-musabab tawuran dan melakukan razia sejata tajam di lembaga permasyarakatan. Kasus ini sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan pengawasan yang ketat dan tingkat kewaspadaan terhadap pola tingkah laku narapidana.
Ketiga, penjara menjadi sekolah kejahatan. Dalam kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, pihak lembaga melupakan pemilahan antara residivis dengan first offender atau orang yang melakukan kejahatan untuk pertama kalinya. Menurut Sutherland yang merupakan tokoh kriminolog paradigma positivis dalam teori Differential Association ditekankan bahwa penentu kejahatan terletak dalam hubungan pelaku dengan lingkungan dimana ia melakukan interaksi sosial sehingga dapat menghasilkan kejahatan.
Dalam hal interaksi sosial seseorang belajar apa yang terjadi di lingkungannya. Demikian juga halnya, jika tidak difokuskan pemilahan antara residivis dengan first offender hampir dipastikan keduanya berinteraksi sehingga adanya proses pembelajaran untuk melakukan kejahatan kembali.
Re-integrasi sosial
Dalam rangka mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi tenaga yang terampil, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit, pendidikan, dan lain-lain.
Dalam menjalani hukuman ini diharapkan narapidana dapat interaksi sosial yang harmonis antara ex-napi dengan masyarakat setelah mereka bebas. Hal ini didukung prinsip-prinsip pemasyarakatan sebagai dasar pembinaan dari Sistem Pemasyarakatan adalah sepuluh prinsip Pemasyarakatan yaitu:
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang dibenikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah juga manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana dengan fungsi-fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem Pemasyarakatan.
Permasalahan utamanya adalah narapidana sudah mendapat stigma buruk dari masyarakat sehingga sering muncul bahwa narapidana itu sampah masyarakat dan pemerintah sendiri kurang adanya sosialisasi pemahaman makna narapidana itu sendiri. Padahal dalam pembinaan narapidana dalam memberikan keterampilan, harmonisasi pola hubungan antara pihak narapidana dengan pihak pemerintah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembinaan narapidana dalam memberikan keterampilan di lembaga permasyarakatan, selain dukungaan penuh dari komponen-komponen pendukung seperti masyarakat dan pihak lembaga pemasyarakatan itu sendiri.
Selain itu sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Pemerintah mempunyai tujuan meningkatkan kesadaran bersama. Pola pembinaan keterampilan narapidana akan eksistensinya sebagai manusia melalui tahap perenungan akan ego, motivasi ideal secara kolektif dan kesadaran indvidu yang didukung kesadaran kolektif. Hal tersebut belum menampakkan secara kongkret adanya keterampilan narapidana di lembaga permasyarakatan disebabkan oleh kebijakan strategis pemerintah terhadap fokus terhadap anggaran untuk keterampilan narapidana sangat minim.
Pidana Alternatif
Jika melihat perkembangan penologi saat ini sudah ada pemikiran bahwa melakukan penghukuman tidak harus di dalam lembaga permasyarakatan. Akan tetapi penghukumannya di dalam masyarakat itu sendiri sehingga muncul pidana alternatif dengan cara bekerja sosial atau membayar denda dengan sejumlah uang tertentu kepada Negara.
Hal ini lebih cocok apabila ada koridor yang jelas dalam menjalankan pidana alternatif ini. Pemberlakuan pidana alternatif hanya untuk tindak pidana ringan dan idealnya diberikan kepada kategori anak dan seseorang yang baru melakukan kejahatan agar menjadi pembelajaran yang berguna bagi dirinya dan masyarakat secara langsung dapat manfaatnya.
Dengan demikian, konsep pembangungan sistem pemasyarakatan Indonesia tidak terlepas dari pemerintah selaku pembuat kebijakan dalam implementasinya selalu terbentur elemen-elemen yang berada didalamnya. Dalam rangka momentum semangat Hari Bhakti, Reformasi, dan Kebangkitan Nasional. Akankah hal ini mengurangi semangat kita untuk melakukan pembenahan disegala sektor kemanusiaan termasuk sistem pemasyarakatan Indonesia. Merdeka.***
*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Indonesia, Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Anggota Aktif MAPALA UI.
http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=KolomFeature
Diposting oleh LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA-INDONESIA di 6/13/2008 10:43:00 PM 0 komentar
Label: Kliping
Napi Narkoba LP Kerobokan Diterapi Seni
11 Juni 2008Terapi seni bagi napi narkoba di LP Kerobokan ini sudah dimulai sejak setahun terakhir. Selain menjalani program metadon di klinik LP dengan obat-obatan tertentu, para napi narkoba juga menjalani terapi kesenian tek-tekan, salah satu musik tradisonal bambu dari Bali.
Dalam terapi musik tek-tekan ini, para napi dilatih untuk bermain dalam Kelompok. Tujuan dari terapi musik tek-tekan ini adalah untuk meningkatkan kekompakan antar napi dan menumbuhkan rasa percaya diri para napi narkoba.
Selain terapi musik tradisonal tek-tekan, para napi narkoba ini juga diterapi dengan seni tari kecak. Sama halnya dengan tek-tekan, dalam terapi tari kecak ini, para napi juga melakukan aktivitas berkelompok secara bersama-sama.
Terapi seni ini, bagi beberapa napi narkoba membawa manfaat yang cukup berarti, terutama bagi pemulihan kondisi tubuh mereka.
“ Saya kecanduan heroin selama 25 tahun. Sebelum ikut terapi ini, kondisi badan saya parah sekali. Kalu jalan sempoyongan, seperti orang sakit TB (tuberculosis). Setelah ikut terapi ini, puji Tuhan, kondisi saya membaik, sudah seperti orang normal lagi,” kata Laurensius (55), salah seorang napi narkoba.
“ Saya mulai kenal putaw sejak ada di penjara ini (Kerobokan). Dulu kondisi fisik dan pikiran saya parah. Setiap hari mikirnya ya cuman obat saja, bagaimana caranya agar bisa dapat putaw. Sejak ikut terapi ini, pikiran saya sudah tidak ke sana (obat) lagi,” kata Syamsul (39), napi narkoba lainnya.
Saat dimulai, program terapi seni untuk napi narkoba ini banyak menemui kendala. Salah satunya adalah rendahnya disiplin dan rasa percaya diri dari para napi, terutama yang sudah dalam kondisi kecanduan parah.
Saat pentas pertama kali di depan umum, para napi ini juga minta agar bisa mengenakan topeng, agar tidak malu.
“Melakukan terapi seni untuk para napi narkoba ini cukup sulit. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menyuruh mereka memainkan alat musik tektekan atau tari kecak. Tapi pada perkembangan selanjutnya, para napi ini mulai percaya diri dan bisa berkonsentrasi lagi. Menumbuhkan konsentrasi ini yang penting agar mereka bisa melupakan narkoba,” kata Kalapas Kerobokan, Ilham Djaya.
Di LP Kerobokan Denpasar terdapat sekitar 380 napi narkoba, namun hingga kini baru sekitar 35 napi narkoba yang ikut program terapi kesenian ini. Secara bertahap, seluruh napi narkoba yang ada di LP ini akan diikutkan dalam program terapi seni ini. (bob)
http://www.beritabali.com/?reg=bdg&kat=&s=news&id=200803290005
Diposting oleh LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA-INDONESIA di 6/11/2008 11:00:00 PM 0 komentar
Label: Kliping
Harm Reduction: Indonesia Harus Belajar Dari Iran!
09 Juni 2008Indonesia mungkin layak berkaca pada Iran, salah satu negara penghasil opium terbesar sesudah Amerika Selatan, karena melalui Program Harm Reduction mampu meredam pemakaian jarum suntik secara ilegal di lapas-lapas atau penjara.
Dan negara ini pun telah mampu meredam angka penularan HIV / AIDS di kalangan napi di lapas-lapas. Jika kesuksesan ini mampu meredam angka penularan HIV/AIDS, mengapa kita tidak mencobanya?
Iran adalah salah satu negara yang berhasil menjalankan program ini, - tanpa menebarkan lebih banyak lagi jarum suntik. Apa rahasianya? Saat ini, terdapat lebih dari 2,5 juta pengguna napza di Iran. Penggunanya pun lebih banyak kaum pria sehingga masalah ini dikategorikan sebagai *male issues*. Upaya untuk menghambat distribusi obat-obatan dan jarum suntik juga dipandang tidak berhasil. Bahkan data terbaru tahun 2007 menyatakan bahwa terdapat sekitar 6.200 ton narkotika terdistribusi di kalangan penggunanya.
Selaras dengan itu, terjadi pula peningkatan jumlah pasien HIV/AIDS terutama di kalangan pengguna napza. Hal ini dianggap sebagai masalah ganda yang alami, karena keduanya saling terkait erat.
Departemen Kesehatan Iran mencatat terdapat sekitar 1300 kasus baru HIV/AIDS di awal tahun ini. Dikatakan oleh Azarakhsh Mokri, MD,PhD, Associate Professor dari Fakultas Psychiatry University of Iran, sama dengan kasus di negara-negara lain, penyebabnya terutama dikarenakan oleh penggunaan jarum suntik secara bergantian dan tidak steril. Peningkatan tertinggi bahkan terjadi di dalam penjara! Mokri mengatakan bahwa ini dikarenakan hukum negara Iran melarang keras penggunaan napza. Pelakunya dianggap kriminal dan langsung dipenjarakan.
Mokri menegaskan bahwa peningkatan penggunaan jarum suntik di dalam penjara cenderung lebih baik ketimbang bila terjadi di luar penjara. Meski demikian, bukan berarti hal ini akan dibiarkan terus menerus. "Pemerintah terus berupaya untuk mengurangi epidemi ini. Hal ini menjadi lebih baik karena konsentrasinya terpusat di dalam penjara," kata Mokri.
Saat ini yang dilakukan oleh pemerintah Iran adalah menggandeng perguruan tinggi dan lembaga setempat untuk program konseling dan terapi obat pengganti. Lebih dari 1.200 *private MMT centre *dibangun untuk memfasilitasi program ini. Enam ratus diantaranya dibangun di penjara dan berfungsi dengan sangat baik dengan cakupan mencapai 8.200 klien narapidana.
*Private Centre* ini menyediakan layanan konseling dan terapi obat pengganti (metadone dan buprenorphine). Para klen (narapidana) pun tidak kesulitan dalam mengakses layanan ini. Selain jarak yang dekat, para klien juga tidak
perlu membayar biaya apapun karena pemerintah Iran mensubsidi semua keperluan obat-obatan harian (metadone dan buprenorphine).
Para klien yang sudah keluar dari penjara atau masa tahanannya telah habis juga tetap bisa melanjutkan program ini dengan mengunjungi *private centre*terdekat. Dengan demikian prpgram konseling dan terapi obat bagi para klien tersebut tidak terhambat.
Program yang sudah berlangsung selama tujuh tahun ini memang belum menampakkan hasil yang signifikan. Bila terjadi penurunan kasus dalam penjara, terjadi peningkatan kasus baru yang terjadi di luar penjara.
Penyebab utamanya adalah Opium. Iran merupakan salah satu negara penghasil opium, - meski skalanya tidak sebesar Amerika Selatan. "Kami terus berusaha meregulasi hukum terhadap keberadaan ladang opium di Iran," kata Mokri. Jika hukum tersebut bisa diterima, maka ia yakin keberhasilan program Harm Reduction ini akan lebih terlihat.
Dalam sesinya di Kongres Internasional Harm Reduction ke-18 yang berlangsung di Warsawa 13-17 Mei 2007, Azarakhsh Mokri juga membagi kiatnya dalam membangun *private MMT Centre* ini. Untuk sebuah *private centre* yang mampu melayani 50 - 200 klien, dibutuhkan hanya ruangan seluas 75 meter persegi dengan fasilitator 1-2 orang perawat, 1 orang psikolog ataupun psikiater dan atau pekerja sosial, persediaan
metadone dan obat-obatan lain yang mendukung penyembuhan para pecandu, serta legalisasi dari lembaga kesehatan terkait.
Di Iran, *private centre* ini dianggap lebih efektif oleh pemerintah setempat karena biaya operasionalnya yang murah. "Setiap bulan, *private centre* ini hanya membutuhkan biaya opersional sebesar 50 - 75 US Dollar yang disokong oleh pemerintah maupun pendonor," kata Mokri.
Jika di Iran partisipasi pemerintah dan pendonor telah terjalin, apa yang terjadi di Indonesia malah sebaliknya. Pencegahan penularan HIV / AIDS di lembaga pemasyarakatan (lapas) terhalang kendala minimnya dana dan kurangnya jumlah tenaga medis. Hal ini membuat proses pencegahan penularan HIV di dalam lapas tidak berjalan efektif dan maksimal. Apalagi, hingga kini masih banyak ditemui kasus penyalahgunaan narkoba suntik di penjara, dengan resiko tertular HIV sangat besar, kata dr. Aida Fatmi, Ka.Subdin Kesehatan Masyarakat DKI Jakarta kepada rileks.com, di sela-sela bincang-bincang sehat bersama wartawan kesehatan.
"Masih ada kebiasaan menggunakan narkoba suntik secara ilegal di dalam penjara, suntikan yang digunakan pun bergantian," katanya. Padahal, dengan mengirim ke lapas, kondisi pecandu narkoba tidak akan menjadi lebih baik. Pasalnya kondisi sanitasi di lapas sangat buruk, penuh sesak dan makanan yang disajikan pun alakadarnya. Akibatnya, resiko tertular pun sangat tinggi. Kecil kemungkinan para pecandu yang ada dalam satu sel tidak menulari rekan satu selnya, tegas Aida
Sebagai Ibukota negara, DKI Jakarta sendiri telah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi (KPAP) dengan Kelompok Kerja (Pokja) Penanggulangan HIV/AIDS di LP dan rutan, dimana fungsi komisi ini untuk mengawasi dan melaporkan perkembangan penyakit HIV/AIDS di setiap LP dan rutan.
"Hasilnya memang cukup signifikan, karena dari pokja-pokja yang dibentuk, jumlah pengidap HIV / AIDS dan data korbannya dapat terdeteksi dengan cepat," kata Ketua Pelaksana Harian KPAP DKI Jakarta, Drs. Priyadi.
Penangangan korban HIV/AIDS nya sendiri, lanjutnya, meski terbentur dengan minimnya dana dan tenaga medis. Secara keseluruhan, aku Priyadi, dana kesehatan untuk pengidap HIV/AIDS tidak ada. Budget dana yang disediakan pemerintah diberikan untuk keseluruhan penyakit. Tidak secara spesifik untuk pengidap HIV/AIDS, tegasnya.
Jadi, jika pemerintah dan masyarakat mau berkaca dari kesuksesan Iran menekan angka penyebaran HIV / AIDS di lapas, mungkin Indonesia bisa dijadikan proyek penelitian dunia. Karena untuk kasus pengidap HIV / AIDS, Indonesia termasuk negara yang cukup diwaspadai, pungkas Aida.
Diposting oleh LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA-INDONESIA di 6/09/2008 10:02:00 PM 2 komentar
Label: Kliping
PSIKOLOGI FORENSIK
06 Juni 2008Posted by apsi
Kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin menggelisahkan. Di Indonesia saja,peristiwa gadis yang digagahi orang tuanya sendiri atau diperkosa masal oleh anak-anak seumur jagung seperti sudah menjadi warta harian yang dapat disimak lewat media massa.
Sayang, tingginya pemberitaan tentang malapetaka itu tidak berpengaruh banyak terhadap tingkat kewaspadaan masyarakat akan bahaya yang ditebar para pelaku. Padahal, the real terrorist itu, celakanya, hidup di tengah-tengah masyarakat sendiri.
Permasalahan Psikologi Forensik di Indonesia
Berbagai permasalahan terkait dengan proses peradilan pidana semakin banyak terjadi di Indonesia. Permasalahan tersebut seringkali hanya diperhitungkan sebagai permasalahan hukum semata. Berikut beberapa permasalahan hukum yang sangat akrab dengan kita sehari-hari.
Berbagai kasus kriminal
Berita ibu yang membunuh anaknya, terjadi di Malang, Bandung dan Pekalongan (Jawa Pos, 24 Maret 2008). Pada kasus di Malang, si ibu akhirnya mengakhiri hidup bersama 4orang anaknya (berita Metro TV, 23 Maret 2008 pukul 12:00. Seorang perempuan bernama “N” terpaksa membunuh bekas kekasihnya yang melakukan kekerasan selama 6 tahun (Jawa Post, 1 Desember 2007). Di Kediri, seorang anak berusia 14 tahun membunuh teman mainnya yang berumur 5 tahun gara-gara berebut buah chery. Korban dibunuh dengan cara ditenggelamkan dan disilet-silet
Permasalahan terkait dengan Pengadilan
Istilah sehat mental yang digunakan dalam pengadilan antar-hakim (Probowati, 2001), antara psikolog/psikiater (ahli kesehatan mental) dengan hakim tampak tidak selaras (Pariaman, 1983)
Permasalahan penanganan lembaga pemasyarakatan
Rehabilitasi kriminalitas dari aspek psikologis di lapas-lapas Indonesia hampir dikatakan minim dan nyaris belum ada.
Semakin banyak permasalahan di masyarakat yang menuntut psikologi forensik untuk memberikan sumbangan penyelesaian, namun pengembangan psikologi forensik sendiri di tanah air masih lamban.
DEFINISI PSIKOLOGI FORENSIK
The committee on ethical Guidelines for Forensik Psychology mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum. Luasnya bidang psikologi forensik dan penggunaan istilah yang beragam membuat seringkali masyarakat menjadi bingung akan tugas psikolog forensik serta istilah yang paling tepat digunakan. Ada yang menggunakan istilah psychology and criminology, psychology of court room, investigative psychology. Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR).
Psikologi forensik : ilmuWan dan pRaktisi
Individu yang berkecimpung pada psikologi forensik dapat dibedakan menjadi :
Ilmuwan psikologi forensik. Tugasnya melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia dalam proses hukum.
Praktisi psikolog forensik. Tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan permasalahan hukum.
Berikut akan dipaparkan praktisi psikolog forensik, karena asosiasi psikologi forensik akan lebih banyak bergerak di praktisi, walau tidak melupakan pengembangan keilmuannya.
Praktisi Psikolog Forensik
Psikolog forensik adalah psikolog yang mengaplikasikan ilmunya untuk membantu penyelesaian masalah hukum. Di Indonesia, profesi psikolog forensik masih kurang dikenal, baik di kalangan psikolog maupun di kalangan aparat hukum
Tugas psikolog forensik pada proses peradilan pidana adalah membantu pada saat pemeriksaan di kepolisian, di kejaksaan, di pengadilan maupun ketika terpidana berada di lembaga pemasyarakatan. Gerak psikolog dalam peradilan terbatas dibanding dengan ahli hukum. Psikolog dapat masuk dalam peradilan sebagai saksi ahli (UU RI nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP). Oleh karena itu diperlukan promosi kepada bidang hukum akan pentingnya psikologi dalam permasalahan hukum, sehingga dalam kasus-kasus pidana, ahli hukum mengundang psikologi. Tanpa undangan aparat hukum, maka psikologi akan tetap berada di luar sistem dan kebanyakan menjadi ilmuwan, dan bukan sebagai praktisi psikolog forensik.
Inti kompetensi psikolog adalah asesmen, intervensi, dan prevensi. Yang membedakan psikolog forensik dengan psikolog lainnya adalah konteks tempat ia bekerja. Psikolog forensik menerapkan kompetensi asesmen, intervensi, dan prevensinya dalam konteks permasalahan hukum.
Tugas psikolog forensik
Berikut akan dipaparkan beberapa tugas psikolog forensik di setiap tahap proses peradilan pidana.
Kepolisian
Pada pelaku.
Interogasi bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Teknik lama yang digunakan polisi adalah dengan melakukan kekerasan fisik, teknik ini banyak mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan akan kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan menggunakan teori psikologi dapat digunakan misalnya dengan teknik maksimalisasi dan minimalisasi (Kassin & McNall dalam Constanzo, 2006). Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi tentang teknik interogasi yang menggunakan prinsip psikologi.
Criminal profiling dapat disusun dengan bantuan teori psikologi. Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak pelaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Misal pada kasus teroris dapat disusun criminal profile dari teroris, yang berguna dalam langkah penyidikan di kepolisian maupun masukan bagi hakim (misalnya apakah tepat teroris dihukum mati atau hanya seumur hidup).
Psikolog forensik juga dapat membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku.
Pada Korban. Beberapa kasus dengan trauma yang berat menolak untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan penggalian informasi terhadap korban, misal pada anak-anak atau wanita korban kekerasan dibutuhkan keterampilan agar korban merasa nyaman dan terbuka. Penggalian korban perkosaan pada anak yang masih sangat belia dapat digunakan alat bantu boneka (Probowati, 2005).
Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi. Pada kasus di Malang ketika seorang ibu yang membunuh 4 anaknya dan ia bunuh diri. Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi adalah merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.
Pada saksi. Proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi trehadap saksi, karena baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90 % terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. Diperlukan teknik investigasi saksi yang tepat a.l: teknik hipnosis dan wawancara kognitif.
Teknik hipnosis digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti atau pada Saksi/korban yang emosional (malu, marah) dan menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali.
Wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi.
Pengadilan
Peran psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat sebagai saksi ahli, bagi korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anakseperti perkosaan,dan penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (misal Mental retarded, pedophilia, dan psikopat).
Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukuman yang berat.
Lembaga Pemasyarakatan
Psikolog sangat dibutuhkan di Lapas. Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana maupun petugas lapas. Misal pada kasus percobaan bunuh diri narapidana tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka seringkali memberikan hukuman dengan tujuan dapat mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Psikolog forensik dibutuhkan dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.
Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum.
Misalnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku kriminal. Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif. Pada penanganan pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan.
Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan kemampuan psikologi sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang sudah terlibat sebagai psikolog forensik, namun tidak adanya standar yang jelas membuat psikolog yang terjun di kegiatan forensik menjalankan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing.
Hal ini berdampak pada penilaian pelaku hukum dan masyarakat yang menjadi bingung dan tidak memahami kinerja psikolog forensik yang beragam. Untuk itulah dibutuhkan suatu asosiasi yang menjadi perekat bagi psikolog yang berminat pada psikologi forensik. HIMPSI sudah membuat asosiasi itu yaitu APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia)
Ditulis dalam kategori Dokumen, Penelitian
http://himpsijaya.org/2008/05/15/psikologi-forensik/
Diposting oleh LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA NARKOTIKA JAKARTA-INDONESIA di 6/06/2008 10:47:00 PM 0 komentar
Label: Kliping